AGENDA ACARA SEPEKAN YOGYAKARTA 15 SEPT - 5 OKTO 2011

SEPTEMBER-OKTOBER 2011 | [PAMERAN] |Komputer: Yogyakomtek, Jogja Expo Center, 1-5 Oktober |Foto: Karya Regina Safri, Bentara Budaya, 27-28 September. |Senirupa: The Treasure of Spiritual Art - Post Hybridity, Sangkring Art Space, 19-30 September. |Pentas Rupa Baca & Rasa, Wayan Beratha Yasa, 24 Sep-8 Okt, Tembi Rumah Budaya, Bantul. |Love Is All You Need, 14 Sep-4 Okt, Via-via Cafe and Alternative Art Space. |Patung: "Sekarat", 21-30 September, Taman Budaya Yogyakarta. |Jogja Edu Expo 2011, pameran pendidikan dan gelar seni pelajar dan insan pendidikan se Yogyakarta. 30 Sep-2 Okt, jam 09.00-16.00. Taman Pintar Yogyakarta. |Pameran Produk Herbal, Fakultas Farmasi UGM, 30 Sep-1 Okt, 08.00-17.00, di Grha Sabha Pramana, UGM, Bulaksumur. [PELATIHAN] |Pengarusutamaan Gender, YAKKUM Emergency Unit (YEU) Yogyakarta, 28-30 September jam 09.00-17.00, di Disaster Oasis Trainning Center, Jl. Kaliurang Km 21,5 Hargobinangun, Pakem, Sleman. |Maximum Climbers Gathering 2011, 30 Sep-2 Okt, Pantai Siung, Gunung Kidul, CP: 0274-7428076, 081215475337. [FESTIVAL] |Music, Festival Band dalam rangka Hari Pangan Se Dunia XXXI, 30 September, Benteng Vredenburgh. |KOREAN DAY 2011, Korean Singing Comp., 19 Sp-17 Okt, hub: info@koreanday-ugm lockerz.com/s/142635476 [LOMBA] |Lomba Fotografi-Cepen-Essay dlm rangka Psikologi Fest Jurnalistik UGM, Info: 085661634135. |Lomba MHQ, MSQ, MTQ, Kaligrafi, Adzan, CCA tingkat SMP, 9 Oktober, pendaftaran s.d 5 Oktober di SMAN 5 Yogya. CP 081802617467. [FILM] |Pemutaran Film "White Terror", Salvador Allende, G30s/PKI, Lumumba, 29 Sep-1 Okt, di Perpustakaan Literati. [UJIAN SIM] Massal, Sim A & C bagi warga Sleman, di Purwomartani, Sleman. Daftar 12 Sep-1 Okt, ujian 4 Oktober. [TALKSHOW] Bisnis, "Strategi Jitu Menjadi Industriawan Bisnis", 30 Sep, 16.00, Hotel Sahid, Jl. Babarsari Yogyakarta. [MEDIS] Program Peduli Kesehatan dari Laboratorium Klinik Parahita Yogyakarta, 1-8 Oktober. PK Parahita, Dr Soetomo, Yogyakarta.

July 19, 2010

Di Yogya, Lidah Wajib Bertamasya

BUTET KARTAREDJASA | Yogyakarta bukan hanya ”istimewa” daerahnya, tetapi juga istimewa dalam perkara memburu makanan enak. Bayangkan.
Untuk menyantap semangkuk soto Bu Cip di Tamansari atau menikmati legitnya nasi goreng kambing olahan Mbak Sopiah di Warung Sate ”Pak Dakir” di Jalan HOS Cokroaminoto, kita harus menyiapkan stamina istimewa untuk antre tunggu giliran. Dan, menikmati istimewanya kegerahan di warung sempit. Bahkan, jika menyantap tongseng kambingnya Pak No di Desa Menayu Kulon, Ring Road Selatan, orang akan merasakan istimewanya sengatan cabe superpedas. ”Habis lari maraton ya,” ledek Pak No setiap konsumennya bercucuran keringat dan terengah-engah kepedasan.
Itulah Yogya. Melengkapi statusnya sebagai kota budaya, ia menyimpan begitu banyak keunikan, teristimewa yang berurusan dengan kemanjaan lidah. Dikategorikan unik karena olahan makanan (tradisional) itu jarang ditemui di menu kelas restoran. Misalnya baceman kepala kambing di belakang Pasar Colombo, Jalan Kaliurang; baceman bebek di Pasar Ngino, Godean; atau baceman burung puyuh dan burung dara di depan gerbang Ndalem Notoprajan. Atau, yang dikategorikan lauk-pauk unik, seperti gorengan cethul goreng di Tamansari, rantengan (baceman empal, babat, iso, rambak, petis) Bu Warno di lantai dua Pasar Beringharjo bagian timur, berdekatan dengan gado-gado legendaris Bu Hadi.
Masih banyak warung legendaris yang bertahan hingga kini, bahkan dikelola generasi kedua atau ketiga. Yang pernah kuliah di UGM Bulaksumur dipastikan pernah menikmati pecel, sop, dan es sari tomat di SGPC Bu Wiryo. Biasanya, mereka ingin mengenang kembali SGPC yang dulu kondang dengan kejenakaan pelayannya, yang selalu mengistilahkan menu makanan dengan ungkapan yang lucu: sop tanpa kawat (maksudnya tanpa mihun), pecel banjir (dengan bumbu kacang yang banyak), atau sop tanpa colt kampus (maksudnya tanpa kol, kubis).
Sementara yang menggemari makanan berkuah akan berjodoh dengan Soto Kadipiro di jalan Wates, yang saking melegendanya di sekitar situ banyak muncul kedai soto dengan brand ”Kadipiro”. Namun, ada genre soto lain. Beda bumbu dan dagingnya. Jika soto Kadipiro—juga Soto Sawah di Desa Soragan dan Soto Pak Slamet di Mejing, Gamping—disertai suwiran ayam goreng, maka yang ini berbasis daging sapi: Soto Pak Marto, Soto Bu Cip, Soto Sumuk Gondolayu, Soto Pithes Pasar Beringharjo, atau Soto Pak Sholeh di Tegalrejo.
Sementara di ”fraksi” sate dan tongseng kambing, orang tentu tak bisa melupakan Sate Kambing Pak Amat di Alun-alun Utara, Tongseng Wiyoro, Tongseng Ngasem, Tongseng Babadan Sleman, Sate/Tongseng Mbah Godril, Sate Samirono, Lelung alias Gule Balung di Desa Gesikan, Bantul; SGTK alias Satu Gule Tongseng Kambing Pak Anshor di Notoprajan, Sate Klathak Pak Bari dan Jono di dalam Pasar Jejeran, dan tentu saja deretan warung sate dan tongseng kambing di sepanjang jalan menuju Imogiri yang jumlahnya puluhan. Sementara yang mengidap darah tinggi bisa mengalihkan konsumsinya ke sate sapi alias sate kocor Pak Tjipto di Jalan Kemasan dan beberapa kedai sejenis di pinggiran Lapangan Karang, yang juga berada di wilayah Kotagede.
Menguji kesabaran
Warung-warung legendaris semacam ini bisa bernama warung lesehan, kedai, angkringan, depot, atau sekadar dapur. Dapur yang memang benar-benar tempat memasak dan cuci piring. Umumnya, orang tak sabaran menunggu dan langsung menyantap di dapur sebagaimana selalu berlangsung saban malam di Gudeg Pawon Bu Prapto, Janturan, Semaki, Yogya, yang baru start setelah pukul 23.30 WIB.
Nah, bicara soal gudeg, variannya pun beragam. Masing-masing dengan keunikannya tersendiri. Ada gudeg kering ala gudeg Wijilan, Gudeg Juminten dan Gudeg mBarek. Ada gudeg basah dengan santan cair atau setengah kental seperti Gudeg Bu Citro, Gudeg Bu Sri di selatan Pasar Klithikan Kuncen; Gudeg Permata, Gudeg Klentheng, Gudeg Mbak Ginuk di Jetis, atau Gudeg Bu Joyo yang selalu menggelar dagangannya pukul 23.00 di sebelah utara Pasar Beringharjo. Juga ada gudeg manggar yang tidak lagi menggunakan buah nangka muda (gori) di Srandakan, Bantul.
Jika didramatisir, ibaratnya, di setiap jengkal jalanan Yogya orang bisa menemukan sensasi anyar yang barangkali tidak ditemui di kota lain. Terbitnya sensasi itu tak hanya dilihat dari bahan bakunya yang nyleneh seperti misalnya sate kuda (di Gondolayu), sate bulus alias sate kura-kura (di kawasan Jetis). Juga bukan dikarenakan produk-produk makanannya yang unik macam Oseng-Oseng Mercon (di Jalan KHA Dahlan dan Suryowijayan), atau Sega Kucing (di warung-warung angkringan di berbagai pojok kota).
Namun, sensasi itu bisa jadi karena memang penjualnya yang kelewat percaya diri terhadap produk jualannya sehingga kurang peduli pada aspek pelayanan. Itu tercermin dari tempatnya yang terkesan rada jorok, tidak menyediakan toilet yang pantas, penyajiannya sangat sederhana dan pelayanannya pun terkesan semau gue.
Bayangkan saja, sementara kita ngebet ingin menikmati gurihnya mangut lele Yu Kini di Desa Ganjuran, Bantul, kurang lebih 15 kilometer selatan Yogya—yang untuk datang ke situ membutuhkan 35 menit dari pusat kota—sesampai di sana kita belum tentu bisa langsung makan. ”Kalau mau, ya nunggu. Aku durung ngliwet (saya belum menanak nasi),” ujar Yu Kini tanpa merasa bersalah.
Dan, biasanya, pelanggan hanya bisa mengumpat dalam hati meski tetap rela menunggu sampai nasi matang. Malah oleh para pelanggannya, warung Yu Kini terkadang dijadikan indikator kemujuran nasib. Kalau nasib baik, setiba di sana nasi telah tersedia. Kalau belum ada, ya anggaplah untuk berlatih menguji kesabaran.
Kelezatan dari Kerak Wajan
Selain melatih kesabaran, menyantap makanan di Yogya selalu dapat harga murah. Umumnya, penjual makanan khas itu—bakmi jawa, lotek, tongseng, dan sebangsanya—tidak berorientasi pada kuantitas yang menghalalkan penggandaan demi mengejar omzet. Bagi mereka, menyajikan olahan makanan yang terbaik adalah menggarapnya satu per satu. Lotek ya ramuan bumbunya di-uleg (digilas) sesuai order. Bakmi ya digoreng atau direbus dengan satu tungku dan satu wajan yang sama, seperti kita temui di Warung Bakmi Pak Rebo di depan SD Kintelan, Jalan Brigjen Katamso. Kalau toh dari beberapa warung bakmi jawa lainnya—seperti Bakmi Kadin di Jalan Sultan Agung, Mbah Mo di Desa Code, Bantul, Bakmi Pele di Alun Alun Utara, Bakmi Doring di Tamansari, Suryowijayan—mulai menambah tungku dan wajannya, semuanya itu tetap ditangani oleh seorang juru masak.
Hal yang sama juga bakal ditemui di sejumlah warung tongseng. Tongseng kambing ataupun tongseng jamu yang menggunakan bahan baku daging Rin Tin Tin yang bisa menggonggong huk-huk-huk. Ada semacam kepercayaan, mereka pantang mencuci bersih wajan penggorengan. Paling banter hanya dibilas air. Konon kelezatan tongseng dan bakmi, antara lain, karena kerak-kerak bumbu yang bertimbun di permukaan wajan itu.
Soal murahnya harga makanan sering bikin konsumen terjingkat kaget. Jagoan marketing yang berorientasi melipatgandakan keuntungan akan ternganga-nganga mendapati kenyataan betapa mereka menjual jasa boga dengan ambisi sederhana, ”Sekadar saya bisa nunut makan.”
Cobalah datang ke rumah yang sekaligus warung Mangut Lele Mbah Marto di Desa Nggeneng, Sewon, Bantul. Di sana tersedia sambal goreng krecek, lele asap dimasak dengan santan (mangut), opor, dan sejumlah gorengan. Kita bisa makan sepuas-puasnya. Nasi boleh nambah berkali-kali. Namun, jangan kaget, begitu anda membayar, uang sepuluh ribu pun masih ada kembaliannya. Suatu kali, serombongan seniman makan siang di situ. Ada dua belas orang menuntaskan laparnya, eh dibayar Rp 100.000 masih ada kembaliannya Rp 30.000. Gila!!!
Jadi, ajaklah sang lidah bertamasya menguji kecerdasannya di Yogya.

2 comments: