AGENDA ACARA SEPEKAN YOGYAKARTA 15 SEPT - 5 OKTO 2011
SEPTEMBER-OKTOBER 2011 | [PAMERAN] |Komputer: Yogyakomtek, Jogja Expo Center, 1-5 Oktober |Foto: Karya Regina Safri, Bentara Budaya, 27-28 September. |Senirupa: The Treasure of Spiritual Art - Post Hybridity, Sangkring Art Space, 19-30 September. |Pentas Rupa Baca & Rasa, Wayan Beratha Yasa, 24 Sep-8 Okt, Tembi Rumah Budaya, Bantul. |Love Is All You Need, 14 Sep-4 Okt, Via-via Cafe and Alternative Art Space. |Patung: "Sekarat", 21-30 September, Taman Budaya Yogyakarta. |Jogja Edu Expo 2011, pameran pendidikan dan gelar seni pelajar dan insan pendidikan se Yogyakarta. 30 Sep-2 Okt, jam 09.00-16.00. Taman Pintar Yogyakarta. |Pameran Produk Herbal, Fakultas Farmasi UGM, 30 Sep-1 Okt, 08.00-17.00, di Grha Sabha Pramana, UGM, Bulaksumur. [PELATIHAN] |Pengarusutamaan Gender, YAKKUM Emergency Unit (YEU) Yogyakarta, 28-30 September jam 09.00-17.00, di Disaster Oasis Trainning Center, Jl. Kaliurang Km 21,5 Hargobinangun, Pakem, Sleman. |Maximum Climbers Gathering 2011, 30 Sep-2 Okt, Pantai Siung, Gunung Kidul, CP: 0274-7428076, 081215475337. [FESTIVAL] |Music, Festival Band dalam rangka Hari Pangan Se Dunia XXXI, 30 September, Benteng Vredenburgh. |KOREAN DAY 2011, Korean Singing Comp., 19 Sp-17 Okt, hub: info@koreanday-ugm lockerz.com/s/142635476 [LOMBA] |Lomba Fotografi-Cepen-Essay dlm rangka Psikologi Fest Jurnalistik UGM, Info: 085661634135. |Lomba MHQ, MSQ, MTQ, Kaligrafi, Adzan, CCA tingkat SMP, 9 Oktober, pendaftaran s.d 5 Oktober di SMAN 5 Yogya. CP 081802617467. [FILM] |Pemutaran Film "White Terror", Salvador Allende, G30s/PKI, Lumumba, 29 Sep-1 Okt, di Perpustakaan Literati. [UJIAN SIM] Massal, Sim A & C bagi warga Sleman, di Purwomartani, Sleman. Daftar 12 Sep-1 Okt, ujian 4 Oktober. [TALKSHOW] Bisnis, "Strategi Jitu Menjadi Industriawan Bisnis", 30 Sep, 16.00, Hotel Sahid, Jl. Babarsari Yogyakarta. [MEDIS] Program Peduli Kesehatan dari Laboratorium Klinik Parahita Yogyakarta, 1-8 Oktober. PK Parahita, Dr Soetomo, Yogyakarta.
October 04, 2011
Yogyakarta, Kota Kesayangan Banyak Orang,...
Yogya itu membikin kangen — begitulah kira-kira tersirat pada stiker "Kapan ke Jogja Lagi?" di atas.
Di Yogya, orang mengalami tinggalan-tinggalan dan tradisi bersejarah panjang yang membaur dalam kehidupan sehari-hari. Ada candi-candi di sekeliling kota. Ada keraton, museum, galeri, pasar, juga berbagai LSM.
Ada juga seniman-seniman bernama besar. Semuanya, tokoh atau bukan, monumen atau bukan, mudah didekati dan dicapai.
Kota ini juga salah satu pusat kesenian kontemporer Asia yang penting. Sehari-hari Anda dapat menjumpai produktivitas tinggi seniman berbagai bidang. Di antara kokok ayam, kita juga mendengar suara band-band kontemporer. Mengimbangi ruang ruang konsumtif, ada ruang ruang penciptaan kreatif yang leluasa.
Tetapi apakah tidak ada masalah sama sekali di kota ini?
Ada. Lihat misalnya iklan mural operator telepon seluler XL yang menjijikkan di kolom-kolom jalan layang memasuki Yogya dari arah bandara. Dulu setahu saya ada alternatif yang lebih baik dari para seniman Yogya, antara lain Sam Indratma, "raja" dan perintis mural Yogya.
Kaum miskin kota di kota ini mungkin lebih sedikit dibandingkan dengan kota lain di seluruh negeri. Tetapi, sebagai kota yang sekilas tampak pemerataannya baik, seharusnya soal ini dapat diselesaikan dengan mudah.
Sepeda — yang hingga 15 tahun lalu masih jadi ikon kota — kini digantikan sepeda motor. Meski kini ada gerakan kembali ke sepeda, tapi tentu tidak mudah, karena motor dan mobil sudah terlanjur menguasai ruang kota.
Urban sprawl dan jumlah penglaju (commuter) meningkat, membuat macet antara lain Jalan Solo. Bus kota ada dan relatif baik, tapi belum cukup mengimbangi pertumbuhan jumlah sepeda motor dan mobil.
Kabarnya wali kota baru akan membantu sekitar 67 ribu penduduk miskin di Yogya. Ini baik, namun tak cukup. Urban sprawl dan angkutan umum adalah masalah serius yang harus dihadapi mulai sekarang.
Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.
October 01, 2011
Yogyakarta Selayang Pandang Cinta
Never Ending Asia (pariwisata)
Lokasi Kota Yogyakarta di Pulau Jawa
Kota Yogyakarta terletak di Indonesia
Lokasi Kota Yogyakarta di Pulau Jawa
Koordinat: 7°48'5?S 110°21'52?E
Negara Indonesia
Hari jadi 7 Oktober 1756
Pemerintahan
Walikota : Haryadi Suyutie, 2011-2016
- DAU : Rp. 436.339.933.000,-
- Luas Total : 32,5 km2
- Populasi (2011) 430.735
- Kepadatan 13.253,4/km²
Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode telepon +62 724
SNI 7657:2010 YYK
Kecamatan 14
Flora resmi Kelapa gading
(Cocos nuciferal vv. gading)
Fauna resmi Burung tekukur
(Streptoplia chinensis tigrina)
Situs web www.jogja.go.id
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota besar di Pulau Jawa yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus tempat kedudukan bagi Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam.
Salah satu kecamatan di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Karaton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram.
Etimologi | Nama Yogyakarta terambil dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya[3].
Sejarah | Mataram Hindu (Abad ke-10 Masehi) | Meskipun hilang dari catatan sejarah sejak berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Medang pada abad ke-10 ke timur, wilayah lembah di selatan Gunung Merapi sejak abad ke-15 tetap dihuni banyak orang dan konon menjadi bagian dari kawasan yang disebut sebagai Pengging. Dalam kronik perjalanannya, Bujangga Manik, seorang pangeran pertapa dari Kerajaan Sunda pernah melewati wilayah ini, tetapi tidak menyebut nama "Yogya" atau yang bermiripan.
Mataram Islam (1575 - 1620) | Cikal-bakal kota Yogya adalah kawasan Kotagede, sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kota Yogyakarta. Keraton penguasa Mataram Islam pertama, Panembahan Senapati (Sutawijaya), didirikan di suatu babakan yang merupakan bagian dari hutan Mentaok (alas Mentaok). Kompleks tertua keraton ini sekarang masih tersisa sebagai bagian batu benteng, pemakaman, dan masjid. Setelah sempat berpindah dua kali (di keraton Pleret dan keraton Kerta, keduanya berada di wilayah Kabupaten Bantul), pusat pemerintahan Kesultanan Mataram beralih ke Kartasura.
Setelah Perjanjian Giyanti (1745 - 1945) | Sejarah kota memasuki babak baru menyusul ditandatanganinya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi (yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono I, dan VOC pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi dua Mataram menjadi Mataram Timur (yang dinamakan Surakarta) dan Mataram Barat (yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta)
Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan politik baru secara resmi berdiri sejak Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) mengakhiri pemberontakan yang dipimpinnya, mendapat wilayah kekuasaan separuh wilayah Mataram yang tersisa, dan diizinkan mendirikan keraton di tempat yang dikenal sekarang. Tanggal wisuda keraton ini, 7 Oktober 1756, kini dijadikan sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.
Perluasan kota Yogyakarta berjalan secara cepat. Perkampungan-perkampungan di luar tembok keraton dinamakan menurut kesatuan pasukan keraton, seperti Patangpuluhan, Bugisan, Mantrijeron, dan sebagainya. Selain itu, dibangun pula kawasan untuk orang-orang berlatar belakang non-pribumi, seperti Kotabaru untuk orang Belanda dan Pecinan untuk orang Tionghoa. Pola pengelompokan ini merupakan hal yang umum pada abad ke-19 sampai abad ke-20, sebelum berakhirnya penjajahan. Banyak di antaranya sekarang menjadi nama kecamatan di dalam wilayah kota.
Terdapat situs-situs tua yang tinggal puing, khususnya yang didirikan pada masa awal tetapi kemudian diterlantarkan karena rusak akibat gempa besar yang melanda pada tahun 1812, seperti situs tetirahan Warungboto, yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana II dan situs Taman Sari di dalam tembok keraton yang didirikan Sultan Hamengkubuwana I. Pasar Beringharjo sudah dikenal sebagai tempat transaksi dagang sejak keraton berdiri, namun bangunan permanennya baru didirikan pada awal abad ke-20 (1925).
Paruh kedua abad ke-19 merupakan masa pemodernan kota. Stasiun Lempuyangan pertama dibangun dan selesai 1872. Stasiun Yogyakarta (Tugu) mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1887. Yogyakarta di awal abad ke-20 merupakan kota yang cukup maju, dengan jaringan listrik, jalan untuk kereta kuda dan mobil cukup panjang, serta berbagai hotel serta pusat perbelanjaan (Jalan Malioboro dan Pasar Beringharjo) telah tersedia. Perkumpulan sepak bola lokal, PSIM, didirikan pada tanggal 5 September 1929 dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram.
Masa Revolusi (1945 - 1950) | Kota Yogyakarta juga memainkan percaturan politik sejarah Indonesia, pada 4 Januari 1946, Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk memindahkan Ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta setelah Belanda dengan Sekutu melancarkan serangan ke Indonesia. Kota ini juga menjadi saksi atas Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, yang pada akhirnya dapat diduduki Belanda, serta Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil mneguasai Yogyakarta selama 6 jam.
Pusaka dan Identitas Daerah | Tombak Kyai Wijoyo Mukti : Merupakan Pusaka Pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat pada tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.
Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan bebarapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregodo Prajurit Mantrijero”.
Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati di masa depan, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir bathin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.
Geografi | Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung - Semarang - Surabaya - Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.
Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.
Batas Administrasi | Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan).
Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah: Utara: Kecamatan Mlati an Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman | Timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul | Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul | Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
Demografi | Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 [4]., berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara.
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Transportasi | Kota Yogyakarta sangat strategis, karena terletak di jalur-jalur utama, yaitu Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan kota-kota di selatan Jawa, serta jalur Yogyakarta - Semarang, yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota-kota di lintas tengah Pulau Jawa. Karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27 - 30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.
Dalam kota | Bus kota | Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang tidak mengenal istilah angkutan kota (angkot dengan armada minibus). Transportasi darat di dalam Yogyakarta dilayani oleh sejumlah bus kota. Kota Yogyakarta punya sejumlah jalur bus yang dioperasikan oleh koperasi masing-masing (antara lain Aspada, Kobutri, Kopata, Koperasi Pemuda Sleman, dan Puskopkar) yang melayani rute-rute tertentu:
Trans Jogja. Sejak Maret 2008, sistem transportasi bus yang baru, bernama Trans Jogja hadir melayani sebagai transportasi massal yang cepat, aman dan nyaman. Trans Jogja merupakan bus 3/4 yang melayani berbagai kawasan di Kota, Sleman dan sebagian Bantul. Hingga saat ini (November 2010), telah ada 8 (delapan) trayek yang melayani berbagai sarana vital di Yogyakarta, yaitu:
Trayek 1A dan Trayek 1B, melayani ruas protokol dan kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan, seperti Stasiun Yogyakarta, Malioboro, Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Trayek 4A dan Trayek 4B, melayani kawasan pendidikan, seperti UII, APMD, UIN Sunan Kalijaga, dan Stasiun Lempuyangan.
Trans Jogja sangat diminati selain karena aman dan nyaman, tarif yang saat ini diterapkan juga terjangkau, yaitu Rp3.000,- untuk sekali jalan, dengan dua sistem tiket: sekali jalan dan berlangganan. Bagi tiket berlangganan, dikenakan potongan sebesar 10% untuk umum dan 30% bagi pelajar.
Taksi | Taksi mudah dijumpai di berbagai ruas jalan di Yogyakarta, terutama di ruas protokol dan kawasan pusat ekonomi dan wisata. Ada berbagai perusahaan taksi yang melayani angkutan ini, dari yang berupa sedan hingga minibus.
Luar kota | Kereta api | Transportasi ke Yogyakarta dapat menggunakan kereta api dari Jakarta, Bandung atau Surabaya, pemberangkatan dan kedatangan kereta api (KA) kelas eksekutif dan bisnis dilayani Stasiun Yogyakarta, juga dikenal sebagai Stasiun Tugu sedangkan KA kelas ekonomi dilayani di Stasiun Lempuyangan. Ada pula kereta api komuter cepat dengan Surakarta yang bernama Pramek.
Bus | Bus AKAP tersedia dari dan ke semua kota di Pulau Jawa, datang dan berangkat dari Terminal Penumpang Yogyakarta, yang berada di Jalan Imogiri Timur, Giwangan, berada di tepi Jalan Lingkar Luar Selatan Yogyakarta, di batas wilayah antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.
Pesawat udara | Transportasi udara dari dan ke Yogyakarta dilayani oleh Bandara Internasional Adisutjipto yang terletak di tepi Jalan Adisucipto KM 9, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Bandara ini melayani penerbang domestik ke kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Surabaya), Sumatra (Batam), Bali, Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan), dan Sulawesi (Makassar).
Selain itu, bandara ini juga melayani penerbangan harian ke Singapura dan Kuala Lumpur dengan maskapai Penerbangan Malaysia dan Indonesia AirAsia.
Walikota Yogyakarta | Berikut ini adalah daftar wali kota atau kepala daerah yang pernah menjabat di Kota Yogyakarta sejak 1947:
1 M. Enoch, Mei 1947 - Juli 1947
2 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Juli 1947 - Januari 1966
3 Soedjono A. Y. , Januari 1966 - November 1975
4 H. Ahmad, November 1975 - Mei 1981
5 Soegiarto, 1981-1986
6 Djatmiko D, 1986-1991
7 R. Widagdo, 1991-2001
8 Herry Zudianto, 2001-2011 (dua periode)
9 Haryadi Suyutie, 2011-2016
September 30, 2011
Pemilihan Walikota Yogyakarta dan Pertaruhan Keistimewaan
Angka perolehan masing-masing (Zulia sekitar 9%, Fitri 41% dan Hati 50%) menunjukkan sengitnya pertarungan antara Fitri dan Hati. Tentu, menarik memperhatikan, bagaimana Fitri, yang new-comer dan tanpa sejarah politik yang jelas ini (kecuali sebagai anak mantan Ketua MPR), bisa "sekuat" itu?
Masyarakat Yogya merasa, bagaimana mungkin Fitri bisa membiayai kampanye politiknya sedemikian rupa, bahkan dengan nilai cost yang lebih besar dibanding Hati (padahal Haryadi termasuk calon dengan nilai kekayaan pribadi lebih besar dibanding lainnya, apalagi dibanding Hanafi Rais). Dari mana sumber biaya kampanye Fitri, hingga bahkan Hanafi Rais mengatakan tidak akan mengambil gaji selama menjabat (seharusnya omongan seperti ini tidak diperkenankan, karena merupakan janji politik yang sama sekali tidak mendidik dan mendiskreditkan calon lainnya, di samping justeru rawan korupsi karena deal politik dengan para sponsor politiknya)?
Pasangan Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji (mantan Sekretaris Daerah Provinsi DIY), diusung empat partai besar (Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra, yang terakhir ini semula mengusung pasangan Zulia), plus sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram (Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
PD sebagai pemenang Pemilu di Yogya (dalam konteks SBY), tidak mencalonkan jago dari partainya, adalah indikasi ketakutan mereka sebagai common enemy masyarakat Yogya pro penetapan. Mereka, bersama hampir semua parpol, mendukung Fitri. Sementara Hanafi Rais, sebagai anak Amin Rais, tentu berkaitan dengan PAN (di mana mantan Ketua MPR itu implisit tidak menyetujui penetapan), sementara PAN dengan Hatta Radjasa sebagai faktor Jakarta, harus bermain dengan SBY dalam konteks yang sama. Di situlah mengapa PD mendukung Fitri, untuk mengecek bagaimana reaksi sesungguhnya masyarakat Yogya terhadap partai mereka.
Dengan mesin politik dan konstelasi politik semacam itu, angka 40% tentu memadai untuk kerja mesin politik, meski pun biaya politiknya tentu mahal secara rupiah. Walau pun kemudian terbukti, dukungan banyaknya parpol tidak paralel dengan dukungan konstituen, yang memang senyatanya tidak nyata ada.
Namun dalam konteks moralitas politik seperti itulah, Fitri kalah. Dan sebagian besar rakyat tidak bisa dibeli, meski ada juga yang menerima uang sogokannya. Pemilihan yang tak banyak diikuti pemilik hak suara ini (golput dengan berbagai sebab mencapai hampir 40%), menunjukkan ketidakpercayaan pada proses demokrasi yang tetap saja elitis.
Dalam penilaian sejujurnya, pasangan nomor satu, Zulia (Zuhrif Hudaya dan Aulia Reza), yang diusung PKS, sesungguhnya terasa lebih konseptual dan paling jelas dengan programnya. Namun, jaringan pengaruh mereka akan lebih bagus jika setidaknya disiapkan dengan matang dalam lima tahun sebelum pertarungan (apalagi jika disertai dengan litbang yang memadai). Belum lagi soal PKS di belakangnya, yang tetap saja belum bisa diterima dengan konsep ke-"Arab"-annya. Tapi, ini juga test konsolidasi bagi partai itu secara khusus.
Hati, didukung oleh Golkar dan PDI Perjuangan, sekali pun bukan pilihan yang cukup bagus (artinya hanya mediocre, dan bahkan ada yang mengindikasikan ke-"premanisme"-annya), agaknya merupakan pilihan paling menyelamatkan, dan menunjukkan kemenangan masyarakat Yogyakarta (siapapun yang dipilihnya), yang sebagian besar lebih menyetujui penetapan dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwana X, tentu saja menolak pendapat bahwa pilwali ini menunjuk antara "kelompok Muhammadiyah" versus "kraton" di sisi lain, karena memang beliau harus mengatakan seperti itu. Namun, sentimen yang faktual di lapangan, tak terhindarkan. Karena tentu juga aneh jika tak ada faksionalisasi dan sentimen itu. Justeru disitulah modal kampanye masing-masing, untuk menunjukkan kapasitas mereka sebagai "jagoan" yang mesti dipilih, bukan karena sebagai seseorang yang ingin dipercaya rakyat, karena kesepakatan atas penawaran logika gagasan program. Money politics, pada akhirnya, adalah bukti bahwa wacana politik mereka tidak "bunyi" atau bahkan tidak ada. Lihat saja jualannya hampir sama,semua pro-penetapan dan akan menjaga keistimewaan Yogyakarta.
Kita tinggal menunggu, bagaimana pembacaan Jakarta (SBY) dalam hal ini, berkait dengan massa jabatan gubernur DIY yang akan berakhir Oktober 2011. Konon SBY akan memperpanjang lagi selama dua-tiga tahun, dan kemudian sesudahnya akan ditetapkan untuk lima tahun ke depan (hingga 2018), untuk kemudian proses pemilihan gubernur dilakukan secara demokratis (beredar kabar Sultan HB X meminta perpanjangan setahun saja, dengan logika untuk mendesak percepatan pembahasan RUUK-DIY).
Kita akan melihat, bagaimana SBY kemudian memutuskan. Bisa jadi, keputusannya akan khas SBY, yakni lebih suka menanam bom waktu, dengan menunda penuntasan masalah, untuk kepentingan eksistensi partainya ke depan.