AGENDA ACARA SEPEKAN YOGYAKARTA 15 SEPT - 5 OKTO 2011

SEPTEMBER-OKTOBER 2011 | [PAMERAN] |Komputer: Yogyakomtek, Jogja Expo Center, 1-5 Oktober |Foto: Karya Regina Safri, Bentara Budaya, 27-28 September. |Senirupa: The Treasure of Spiritual Art - Post Hybridity, Sangkring Art Space, 19-30 September. |Pentas Rupa Baca & Rasa, Wayan Beratha Yasa, 24 Sep-8 Okt, Tembi Rumah Budaya, Bantul. |Love Is All You Need, 14 Sep-4 Okt, Via-via Cafe and Alternative Art Space. |Patung: "Sekarat", 21-30 September, Taman Budaya Yogyakarta. |Jogja Edu Expo 2011, pameran pendidikan dan gelar seni pelajar dan insan pendidikan se Yogyakarta. 30 Sep-2 Okt, jam 09.00-16.00. Taman Pintar Yogyakarta. |Pameran Produk Herbal, Fakultas Farmasi UGM, 30 Sep-1 Okt, 08.00-17.00, di Grha Sabha Pramana, UGM, Bulaksumur. [PELATIHAN] |Pengarusutamaan Gender, YAKKUM Emergency Unit (YEU) Yogyakarta, 28-30 September jam 09.00-17.00, di Disaster Oasis Trainning Center, Jl. Kaliurang Km 21,5 Hargobinangun, Pakem, Sleman. |Maximum Climbers Gathering 2011, 30 Sep-2 Okt, Pantai Siung, Gunung Kidul, CP: 0274-7428076, 081215475337. [FESTIVAL] |Music, Festival Band dalam rangka Hari Pangan Se Dunia XXXI, 30 September, Benteng Vredenburgh. |KOREAN DAY 2011, Korean Singing Comp., 19 Sp-17 Okt, hub: info@koreanday-ugm lockerz.com/s/142635476 [LOMBA] |Lomba Fotografi-Cepen-Essay dlm rangka Psikologi Fest Jurnalistik UGM, Info: 085661634135. |Lomba MHQ, MSQ, MTQ, Kaligrafi, Adzan, CCA tingkat SMP, 9 Oktober, pendaftaran s.d 5 Oktober di SMAN 5 Yogya. CP 081802617467. [FILM] |Pemutaran Film "White Terror", Salvador Allende, G30s/PKI, Lumumba, 29 Sep-1 Okt, di Perpustakaan Literati. [UJIAN SIM] Massal, Sim A & C bagi warga Sleman, di Purwomartani, Sleman. Daftar 12 Sep-1 Okt, ujian 4 Oktober. [TALKSHOW] Bisnis, "Strategi Jitu Menjadi Industriawan Bisnis", 30 Sep, 16.00, Hotel Sahid, Jl. Babarsari Yogyakarta. [MEDIS] Program Peduli Kesehatan dari Laboratorium Klinik Parahita Yogyakarta, 1-8 Oktober. PK Parahita, Dr Soetomo, Yogyakarta.

February 20, 2018

ARSIP MATAAIR [1] RASA BEBAS

Rasa bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni tidak berselisih dengan sesuatu yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan mengerti itu tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga dengan rasa hati dan pikiran.

Bila melihat dan mengerti dalam diri orang itu terpisah, hal itu tidak dapat menimbulkan rasa bebas. Misalnya seorang digigit nyamuk malaria. Ia memperoleh keterangan, bahwa nyamuk malaria itu, setelah menggigit orang yang menderita sakit malaria, ia tentu mengandung kuman-kuman penyakit, dan akan menularkan penyakit pada orang lain yang digigitnya. Mendengar keterangan semacam itu, orang dapat mengerti, tetapi tidak melihat prosesnya. Maka tatkala ia menderita sakit malaria dan makan obat malaria, namun penyakitnya tidak sembuh, berselisihlah ia dengan penyakit malaria, maka ia merasa tidak bebas. 

Demikian bila orang mengerti, tetapi tidak melihat, sehingga ia tidak bebas. Sebaliknya, walaupun melihat, kalau tidak mengerti, orang pun tidak akan bebas. Umpama, kita melihat bola lampu di atas ini, yang bentuknya bulat dan cahayanya terang. Tetapi bila kita tidak mengerti bagaimana cara memadamkan atau menyalakannya, jikalau bola lampu itu tiba-tiba padam, kita menjadi bingung, lantas bertengkar dengan bola lampu itu, sehingga tidak bebas.
 
Jadi rasa bebas atau tidak berselisih itu timbul, jika kita serentak melihat sesuatu dan mengerti sifatnya. Misalnya kita melihat dan mengerti, bahwa api itu bila dipegang dapat membakar tangan. Maka kita merasa bebas dan tidak bertengkar dengan api. Artinya, kita tidak berusaha mengubah sifat api itu, sehingga tidak membakar tangan yang memegangnya. Rasa bebas ini melahirkan perbuatan yang pasti benar. Tegasnya kita tidak akan berbuat, tanpa sengaja memegang api.

 
Supaya lebih jelas, saya beri contoh lain lagi. Misalnya kita melihat dan mengerti,bahwa ular belang itu berbisa, ia dapat membinasakan orang yang dipagutnya. Maka bebaslah kita untuk tidak menentang ular itu. Tegasnya, kita tidak perlu berusaha mengubah sifat ular belang itu supaya tidak berbisa. Tindakan kita yang tepat dalam menghadapi ular itu, ialah menyingkiri atau mengusirnya.

 
Melihat dan mengerti terhadap rasa batin (emosi} pun dapat menimbulkan rasa bebas atau tidak berselisih, antara batin yang melihat dan batin yang dilihatnya. Sebaliknya, bila melihat dan mengerti terhadap rasa-rasa itu terpisah, hal itu tidak menimbulkan kebebasan, melainkan perselisihan. Misalnya kita sedang marah, kita menyadari kemarahan itu. Tetapi kita tidak mengerti makna marah kita itu. Karena itu kita menentang kemarahan kita, yang berwujud perbuatan menahan marah.

 
Pertentangan itu merupakan perang batin, dalam mana pada suatu saat kita merasa "aku marah", pada saat kemudian kita merasa "aku menahan marah". Sehingga kita bingung untuk menentukan diri kita sendiri ini yang mana. Yang marah, atau yang menahan marah. Kita mengira bahwa kedua rasa itu, berasal dari dua unsur yang berlainan. Padahal, rasa yang marah dan rasa yang menahan marah itu sebenarnya adalah sama sifatnya. 


Pada waktu kita marah, kita merasa bahwa kemarahan itu akan menimbulkan tindakan yang berakibat tidak enak. Untuk menghindari hal itu kita lalu berusaha menahan marah, atau dengan kata lain, menentang marah. Jika diteliti rasamenahan atau menentang marah itu, ternyata juga rasa marah; yakni marah terhadap diri-sendiri. Kalau semula kita marah terhadap orang lain, kini kita marah terhadap diri sendiri. Jadi yang yang menahan marah adalah si marah, yang masih bersifat sama. Pengertian di atas itu melahirkan kesadaran bahwa diri-sendiri si-marah tidak dapat mengubah kemarahan sendiri.
 
Dengan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diri-sendiri "si marah", tidak dapat mengubah sifat dirinya. Setiap kali kita berusaha mengubah diri sendiri, selalu tidak berhasil, melainkan berganti rupa. Yaitu si marah menjadi si menahan marah. Bila kita sudah mengerti bahwa kita tidak dapat mengubah diri-sendiri, maka kita tidak ingin mengubah. Bila kita, dalam keadaan perang batin itu tidak ingin mengubah dirisendiri, maka diri-sendiri lalu 'diam, tidak bergerak'. Dengan kata iain, berarti dirisendiri 'mati'. 


Sudah tentu yang mati bukan raga kita, melainkan rasa "aku" kita, atau rasa "aku" si Kramadangsa. "Kramadangsa" ini adalah rasa "aku", identik dengan namanya sendiri-sendiri. Orang itu mempunyai nama sendiri-sendiri, dan merasa "aku" dengan namanya sendiri-sendiri. Jika ia bernama Suta, ia merasa aku si Suta, jika ia bernama Naya, ia merasa aku si Naya. Rasa aku identik dengan nama sendiri ini, saya beri istilah "Kramadangsa"  | Ki Ageng Suryomentaram

ARSIP MATA BATIN [1] KETIADAAN ARAH

Sepanjang 1998-2010, Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang begitu sangat riuh-rendah. Permasalahan, seolah silih-berganti, namun kita tidak pernah tahu ujung permasalahan itu, selain kesulitan kita mencarinya pangkalnya.

Jika kita memakai istilah reformasi, seusai longsornya Soeharto pada 20 Mei 1998, tak ada perubahan substansial yang terjadi pada bangsa dan Negara ini, kecuali de-jure dalam system perundangan dan ketatanegaraan.

Namun, seberapa banyak produk hokum dan system kenegaraan, ada satu hal yang jauh lebih penting menyangga itu semua, yakni tumbuhnya manusia baru Indonesia. Karena jika reformasi kita maknakan secara semantic, maka semestinya dari bangsa ulat, kita mesti berubah menjadi bangsa kepompong, dan kemudian berubah ujud menjadi kupu-kupu. Itu makna reformasi.

Namun sekiranya dari bangsa ulat dan kemudian dengan alas an adanya “reformasi politik” justeru yang terjadi kita menjadi bangsa larva atau jentik-jentik sebelum ulat, bias jadi namanya deformasi dalam makna kemunduran.

Kebebasan berdemokrasi politik, hanya dimaknakan dengan kebebasan mengekspresikan kehendak hati, tanpa dimengerti dan dihayati sebagai suatu upaya atau proses menjadi lebih baik dan mulia. Kebebasan berekspresi dalam dunia politik, kemudian meniadakan etika, aturan, dan melahirkan berbagai bentuk kesewenang-wenangan baru, yang bias sama atau lebih buruk dari situasi-situasi sebelumnya.

Segala macam peristiwa dan perbincangan politik kita hari-hari ini, terasa lebih banyak mengedepankan cara berfikir formal, yang mengedepankan teks namun melupakan konteks. Kebenaran-kebenaran dari cara berfikir formal, hanya melahirkan asumsi mengenai aspek-aspek verbalitas dan procedural semata, namun menjadi sering kehilangan esensi dan makna dari sisi etika atau moralitas.

Seorang anggota DPR, seorang lawyer, seorang jaksa, seorang hakim, seorang wartawan, seorang politikus, seorang calon bupati, dan lain sebagainya status social manusia Indonesia, menjadi lebih mengandalkan pada aspek-aspek formal atas dasar azas kemanfaatan alias pragmatism.

Dengan logika semacam itu, keriuhan diskusi kita mengenai proses membangsa dan menegara, lebih banyak dipenuhi perdebatan yang riuh-rendah, namun hanya dengan agenda menyodorkan kepentingan masing-masing. Bukan atas nama solusi dan tindak lanjut, melainkan lebih merupakan kepuasan intelektualitas semata, atau setidaknya hanya berhenti pada kepentingan diri-sendiri dan kelompok.

Dan akibat yang nyata, tidak pernah muncul sebuah resolusi, atau bahkan sebuah deklarasi, akan apa yang mesti dilakukan oleh bangsa dan Negara ini ke depan. Energi kita habis hanya untuk berlagak, atau bahkan, memaksakan agenda diri-sendiri untuk disepakati bersama.

Betapa tak terhitung lagi, bagaimana para elite politik dan tokoh masyarakat muncul di televisi, mendemonstrasikan kepandaian mereka bersilat lidah. Namun apakah yang kita dapatkan dari semuanya itu?

Berbagai persoalan Negara dam bangsa kemudian hanya menguap begitu saja. Kita kemudian sibuk menanggap, namun melakukan pembiaran sambil menunggu kemunculan isyu baru. Dari lumpur Lapindo, kasus Gayus, Skandal Century, pelemahan KPK, korupsi pajak Aburizal, TDL naik, BBM bersubsidi dicabut, kompor gas mbledhos, diseling kasus video porno, semuanya hanya melintas-lintas semata namun tak pernah jelas maknanya.

Maka di tengah frustrasi, masyarakat menjadi sekumpulan anomaly, yang sama sekali tidak memiliki agenda apapun, kecuali penyelamatan atas situasi hari ini. Oleh karena itu, harga diri mereka bisa dibeli dengan sangat murahnya, oleh berbagai kepentingan.
Ada dua akibat atas hal itu, ialah lahirnya masyarakat anomaly yang bersikap pragmatis, dan eskapis mengenai semua hal yang terjadi di sekitarnya. Keduanya mengakibatkan munculnya karakter yang berbeda secara aktif dan pasif.

Pada mereka yang pasif, maka terjadilah apa yang dinamakan pembiaran, sepanjang bahwa hidupnya terselamatkan. Dalam hal ini, apapun yang dilakukan orang lain, juga pemerintah, tidaklah penting. Karena baik dan buruk kehidupannya, adalah urusan dirinya sendiri.
Sementara pada satu sisi, muncul sikap-sikap reaktif, yang diyakini sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap situasi di sekitarnya. Pada kelompok ini, pragmatism itu ditunjukkan dengan menampakkan dirinya terlibat dalam permasalahan atau peristiwa. Mereka kemudian mencari medianya. Jika dengan mudah pula mereka mengamuk di mana-mana, untuk hal-hal yang sepele, sangat tidak jelas motifnya, sampai pada yang mereka sendiri tidak mengerti, semuanya hanyalah bentuk ekspresi karena hanyalah itu media yang ditemukannya.

Dua kelompok ini, tentu saja sesungguhnya sama berbahaya, karena akan makin memperburuk kondisi membangsa dan menegara kita.

Kita semestinya terus mengasah dan mencari, lahirnya manusia Indonesia yang mampu membaca arah dan masalah, untuk bisa dengan tegas mengatakan, bahwa kita benar-benar harus melakukan reformasi diri, agar yang kita dapatkan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah hari ini, dan menetapkan agenda Indonesia hari ini dan masa depan.

Pada kenyataannya, dibandingkan dengan kualitas SDM (sumber daya manusia) Negara-negara lain, di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia sungguh sangat tertinggal. Tentu saja, hal itu fakta, betapa tidak ada korelasi antara reformasi politik dengan kondisi riel social masyarakatnya. Bagaimana hal itu bias terjadi? Bisa dipastikan, hal itu karena tiadanya makna perubahan politik yang lebih merupakan perubahan-perubahan artificial, verbal, dan tidak esensial.

Perubahan artificial misalnya, kebebasan berdemokrasi ternyata hanya bermakna jika berkait dengan keterpenuhinya kepentingan-kepentingan masing-masing kelompok kepentingan. Kebebasan berpolitik adalah juga hanya sebagai cara untuk membenarkan terhadap semua tindakan-tindakan yang memenuhi hasrat kekuasaan, kepuasan, namun tidak memiliki arah masa depan, karena akan segera berhenti begitu diri-sendiri puas dan menang, tanpa berpikir adakah hal itu merampas kebenaran orang lain, atau berakibat buruk pada masa depan.

Pada sisi itu, kita yang tidak memiliki gambaran jelas, mengenai seperti apakah Indonesia pada 20-30 tahun ke depan. Yang kita tahu, begitu banyak perusahaan multi-nasional berkeliaran di Negara kita, dan kita hanya bisa membiarkan lembar demi lembar rupiah kita terbang ke luar. Yang tersisa, hanyalah ketidakberdayaan kita menjual diri dan waktu sebagai buruh, karena kita mesti mengkonsumsi aneka produk yang dari hulu dan hilir di kuasai oleh kekuatan-kekuatan dari luar.

Segala macam riuh-rendah ini, semestinya kita hentikan, agar lebih jernih kita melihat, ke mana arah kita selama ini. | Sunardian Wirodono

October 04, 2011

Yogyakarta, Kota Kesayangan Banyak Orang,...

Ada banyak orang menempuh studi dan "menjadi terdidik" di kota ini, memperoleh kemampuan untuk mengarungi kehidupan sesudah lulus baik dari SMA maupun perguruan tinggi, dan menjadi sedikit-banyak "Jawa".
Yogya itu membikin kangen — begitulah kira-kira tersirat pada stiker "Kapan ke Jogja Lagi?" di atas.
Di Yogya, orang mengalami tinggalan-tinggalan dan tradisi bersejarah panjang yang membaur dalam kehidupan sehari-hari. Ada candi-candi di sekeliling kota. Ada keraton, museum, galeri, pasar, juga berbagai LSM.
Ada juga seniman-seniman bernama besar. Semuanya, tokoh atau bukan, monumen atau bukan, mudah didekati dan dicapai.
Kota ini juga salah satu pusat kesenian kontemporer Asia yang penting. Sehari-hari Anda dapat menjumpai produktivitas tinggi seniman berbagai bidang. Di antara kokok ayam, kita juga mendengar suara band-band kontemporer. Mengimbangi ruang ruang konsumtif, ada ruang ruang penciptaan kreatif yang leluasa.
Tetapi apakah tidak ada masalah sama sekali di kota ini?
Ada. Lihat misalnya iklan mural operator telepon seluler XL yang menjijikkan di kolom-kolom jalan layang memasuki Yogya dari arah bandara. Dulu setahu saya ada alternatif yang lebih baik dari para seniman Yogya, antara lain Sam Indratma, "raja" dan perintis mural Yogya.
Kaum miskin kota di kota ini mungkin lebih sedikit dibandingkan dengan kota lain di seluruh negeri. Tetapi, sebagai kota yang sekilas tampak pemerataannya baik, seharusnya soal ini dapat diselesaikan dengan mudah.
Sepeda — yang hingga 15 tahun lalu masih jadi ikon kota — kini digantikan sepeda motor. Meski kini ada gerakan kembali ke sepeda, tapi tentu tidak mudah, karena motor dan mobil sudah terlanjur menguasai ruang kota.
Urban sprawl dan jumlah penglaju (commuter) meningkat, membuat macet antara lain Jalan Solo. Bus kota ada dan relatif baik, tapi belum cukup mengimbangi pertumbuhan jumlah sepeda motor dan mobil.
Kabarnya wali kota baru akan membantu sekitar 67 ribu penduduk miskin di Yogya. Ini baik, namun tak cukup. Urban sprawl dan angkutan umum adalah masalah serius yang harus dihadapi mulai sekarang.

Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.

October 01, 2011

Yogyakarta Selayang Pandang Cinta

Motto: Mangayu Hyuning Bawana
Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
Slogan: Berhati Nyaman (Bersih, Sehat, Asri dan Nyaman)(umum)
Never Ending Asia (pariwisata)
Lokasi Kota Yogyakarta di Pulau Jawa
Kota Yogyakarta terletak di Indonesia
Lokasi Kota Yogyakarta di Pulau Jawa
Koordinat: 7°48'5?S 110°21'52?E
Negara Indonesia
Hari jadi 7 Oktober 1756

Pemerintahan
Walikota : Haryadi Suyutie, 2011-2016
- DAU : Rp. 436.339.933.000,-
- Luas Total : 32,5 km2
- Populasi (2011) 430.735
- Kepadatan 13.253,4/km²

Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode telepon +62 724
SNI 7657:2010 YYK
Kecamatan 14
Flora resmi Kelapa gading
(Cocos nuciferal vv. gading)
Fauna resmi Burung tekukur
(Streptoplia chinensis tigrina)
Situs web www.jogja.go.id

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota besar di Pulau Jawa yang merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus tempat kedudukan bagi Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam.
Salah satu kecamatan di Yogyakarta, yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram antara 1575-1640. Keraton (Istana) yang masih berfungsi dalam arti yang sesungguhnya adalah Karaton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman, yang merupakan pecahan dari Mataram.


Etimologi | Nama Yogyakarta terambil dari dua kata, yaitu Ayogya yang berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yodya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik". Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya[3].

Sejarah | Mataram Hindu (Abad ke-10 Masehi) | Meskipun hilang dari catatan sejarah sejak berpindahnya pusat pemerintahan Kerajaan Medang pada abad ke-10 ke timur, wilayah lembah di selatan Gunung Merapi sejak abad ke-15 tetap dihuni banyak orang dan konon menjadi bagian dari kawasan yang disebut sebagai Pengging. Dalam kronik perjalanannya, Bujangga Manik, seorang pangeran pertapa dari Kerajaan Sunda pernah melewati wilayah ini, tetapi tidak menyebut nama "Yogya" atau yang bermiripan.

Mataram Islam (1575 - 1620) | Cikal-bakal kota Yogya adalah kawasan Kotagede, sekarang menjadi salah satu kecamatan di Kota Yogyakarta. Keraton penguasa Mataram Islam pertama, Panembahan Senapati (Sutawijaya), didirikan di suatu babakan yang merupakan bagian dari hutan Mentaok (alas Mentaok). Kompleks tertua keraton ini sekarang masih tersisa sebagai bagian batu benteng, pemakaman, dan masjid. Setelah sempat berpindah dua kali (di keraton Pleret dan keraton Kerta, keduanya berada di wilayah Kabupaten Bantul), pusat pemerintahan Kesultanan Mataram beralih ke Kartasura.

Setelah Perjanjian Giyanti (1745 - 1945) | Sejarah kota memasuki babak baru menyusul ditandatanganinya Perjanjian Giyanti antara Sunan Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi (yang dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono I, dan VOC pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini membagi dua Mataram menjadi Mataram Timur (yang dinamakan Surakarta) dan Mataram Barat (yang kemudian dinamakan Ngayogyakarta)
Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan politik baru secara resmi berdiri sejak Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) mengakhiri pemberontakan yang dipimpinnya, mendapat wilayah kekuasaan separuh wilayah Mataram yang tersisa, dan diizinkan mendirikan keraton di tempat yang dikenal sekarang. Tanggal wisuda keraton ini, 7 Oktober 1756, kini dijadikan sebagai hari jadi Kota Yogyakarta.
Perluasan kota Yogyakarta berjalan secara cepat. Perkampungan-perkampungan di luar tembok keraton dinamakan menurut kesatuan pasukan keraton, seperti Patangpuluhan, Bugisan, Mantrijeron, dan sebagainya. Selain itu, dibangun pula kawasan untuk orang-orang berlatar belakang non-pribumi, seperti Kotabaru untuk orang Belanda dan Pecinan untuk orang Tionghoa. Pola pengelompokan ini merupakan hal yang umum pada abad ke-19 sampai abad ke-20, sebelum berakhirnya penjajahan. Banyak di antaranya sekarang menjadi nama kecamatan di dalam wilayah kota.
Terdapat situs-situs tua yang tinggal puing, khususnya yang didirikan pada masa awal tetapi kemudian diterlantarkan karena rusak akibat gempa besar yang melanda pada tahun 1812, seperti situs tetirahan Warungboto, yang didirikan oleh Sultan Hamengkubuwana II dan situs Taman Sari di dalam tembok keraton yang didirikan Sultan Hamengkubuwana I. Pasar Beringharjo sudah dikenal sebagai tempat transaksi dagang sejak keraton berdiri, namun bangunan permanennya baru didirikan pada awal abad ke-20 (1925).
Paruh kedua abad ke-19 merupakan masa pemodernan kota. Stasiun Lempuyangan pertama dibangun dan selesai 1872. Stasiun Yogyakarta (Tugu) mulai beroperasi pada tanggal 2 Mei 1887. Yogyakarta di awal abad ke-20 merupakan kota yang cukup maju, dengan jaringan listrik, jalan untuk kereta kuda dan mobil cukup panjang, serta berbagai hotel serta pusat perbelanjaan (Jalan Malioboro dan Pasar Beringharjo) telah tersedia. Perkumpulan sepak bola lokal, PSIM, didirikan pada tanggal 5 September 1929 dengan nama Perserikatan Sepak Raga Mataram.

Masa Revolusi (1945 - 1950) | Kota Yogyakarta juga memainkan percaturan politik sejarah Indonesia, pada 4 Januari 1946, Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk memindahkan Ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta setelah Belanda dengan Sekutu melancarkan serangan ke Indonesia. Kota ini juga menjadi saksi atas Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, yang pada akhirnya dapat diduduki Belanda, serta Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil mneguasai Yogyakarta selama 6 jam.

Pusaka dan Identitas Daerah | Tombak Kyai Wijoyo Mukti : Merupakan Pusaka Pemberian Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tombak ini dibuat pada tahun 1921 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Senjata yang sering dipergunakan para prajurit ini mempunyai panjang 3 meter. Tombak dengan pamor wos wutah wengkon dengan dhapur kudhuping gambir ini, landeannya sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu walikun, yakni jenis kayu yang sudah lazim digunakan untuk gagang tombak dan sudah teruji kekerasan dan keliatannya.
Sebelumnya tombak ini disimpan di bangsal Pracimosono dan sebelum diserahkan terlebih dahulu dijamasi oleh KRT. Hastono Negoro, di dalem Yudonegaran. Pemberian nama Wijoyo Mukti baru dilakukan bebarapa hari menjelang upacara penyerahan ke Pemkot Yogyakarta, pada peringatan hari ulang tahun ke-53 Pemerintah kota Yogyakarta tanggal 7 Juni 2000. Upacara penyerahan dilakukan di halaman Balaikota dan pusaka ini dikawal khusus oleh prajurit Kraton ”Bregodo Prajurit Mantrijero”.
Tombak Kyai Wijoyo Mukti melambangkan kondisi Wijoyo Wijayanti. Artinya, kemenangan sejati di masa depan, dimana seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kesenangan lahir bathin karena tercapainya tingkat kesejahteraan yang benar-benar merata.

Geografi | Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung - Semarang - Surabaya - Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl.
Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta.

Batas Administrasi | Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan di sekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan).
Adapun batas-batas administratif Yogyakarta adalah: Utara: Kecamatan Mlati an Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman | Timur: Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul | Selatan: Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul | Barat: Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman dan Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul

Demografi | Jumlah penduduk kota Yogyakarta, berdasar Sensus Penduduk 2010 [4]., berjumlah 388.088 jiwa, dengan proporsi laki-laki dan perempuan yang hampir setara.
Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam kebanyakan di kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat.
Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Transportasi | Kota Yogyakarta sangat strategis, karena terletak di jalur-jalur utama, yaitu Jalan Lintas Selatan yang menghubungkan Yogyakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan kota-kota di selatan Jawa, serta jalur Yogyakarta - Semarang, yang menghubungkan Yogyakarta, Magelang, Semarang, dan kota-kota di lintas tengah Pulau Jawa. Karena itu, angkutan di Yogyakarta cukup memadai untuk memudahkan mobilitas antara kota-kota tersebut. Kota ini mudah dicapai oleh transportasi darat dan udara, sedangkan karena lokasinya yang cukup jauh dari laut (27 - 30 KM) menyebabkan tiadanya transportasi air di kota ini.
Dalam kota | Bus kota | Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang tidak mengenal istilah angkutan kota (angkot dengan armada minibus). Transportasi darat di dalam Yogyakarta dilayani oleh sejumlah bus kota. Kota Yogyakarta punya sejumlah jalur bus yang dioperasikan oleh koperasi masing-masing (antara lain Aspada, Kobutri, Kopata, Koperasi Pemuda Sleman, dan Puskopkar) yang melayani rute-rute tertentu:

Trans Jogja. Sejak Maret 2008, sistem transportasi bus yang baru, bernama Trans Jogja hadir melayani sebagai transportasi massal yang cepat, aman dan nyaman. Trans Jogja merupakan bus 3/4 yang melayani berbagai kawasan di Kota, Sleman dan sebagian Bantul. Hingga saat ini (November 2010), telah ada 8 (delapan) trayek yang melayani berbagai sarana vital di Yogyakarta, yaitu:
Trayek 1A dan Trayek 1B, melayani ruas protokol dan kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan, seperti Stasiun Yogyakarta, Malioboro, Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Trayek 2A dan Trayek 2B, melayani kawasan perkantoran Kotabaru dan Sukonandi.
Trayek 3A dan Trayek 3B, melayani kawasan selatan, termasuk juga kawasan sejarah Kotagede.
Trayek 4A dan Trayek 4B, melayani kawasan pendidikan, seperti UII, APMD, UIN Sunan Kalijaga, dan Stasiun Lempuyangan.
Trans Jogja sangat diminati selain karena aman dan nyaman, tarif yang saat ini diterapkan juga terjangkau, yaitu Rp3.000,- untuk sekali jalan, dengan dua sistem tiket: sekali jalan dan berlangganan. Bagi tiket berlangganan, dikenakan potongan sebesar 10% untuk umum dan 30% bagi pelajar.

Taksi | Taksi mudah dijumpai di berbagai ruas jalan di Yogyakarta, terutama di ruas protokol dan kawasan pusat ekonomi dan wisata. Ada berbagai perusahaan taksi yang melayani angkutan ini, dari yang berupa sedan hingga minibus.

Luar kota | Kereta api | Transportasi ke Yogyakarta dapat menggunakan kereta api dari Jakarta, Bandung atau Surabaya, pemberangkatan dan kedatangan kereta api (KA) kelas eksekutif dan bisnis dilayani Stasiun Yogyakarta, juga dikenal sebagai Stasiun Tugu sedangkan KA kelas ekonomi dilayani di Stasiun Lempuyangan. Ada pula kereta api komuter cepat dengan Surakarta yang bernama Pramek.

Bus | Bus AKAP tersedia dari dan ke semua kota di Pulau Jawa, datang dan berangkat dari Terminal Penumpang Yogyakarta, yang berada di Jalan Imogiri Timur, Giwangan, berada di tepi Jalan Lingkar Luar Selatan Yogyakarta, di batas wilayah antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.

Pesawat udara | Transportasi udara dari dan ke Yogyakarta dilayani oleh Bandara Internasional Adisutjipto yang terletak di tepi Jalan Adisucipto KM 9, Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Bandara ini melayani penerbang domestik ke kota-kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Surabaya), Sumatra (Batam), Bali, Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan), dan Sulawesi (Makassar).
Selain itu, bandara ini juga melayani penerbangan harian ke Singapura dan Kuala Lumpur dengan maskapai Penerbangan Malaysia dan Indonesia AirAsia.

Walikota Yogyakarta | Berikut ini adalah daftar wali kota atau kepala daerah yang pernah menjabat di Kota Yogyakarta sejak 1947:
1 M. Enoch, Mei 1947 - Juli 1947
2 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Juli 1947 - Januari 1966
3 Soedjono A. Y. , Januari 1966 - November 1975
4 H. Ahmad, November 1975 - Mei 1981
5 Soegiarto, 1981-1986
6 Djatmiko D, 1986-1991
7 R. Widagdo, 1991-2001
8 Herry Zudianto, 2001-2011 (dua periode)
9 Haryadi Suyutie, 2011-2016

September 30, 2011

Pemilihan Walikota Yogyakarta dan Pertaruhan Keistimewaan

Untunglah, Fitri (Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji) kalah dalam pilwali (pemilihan walikota) di kotamadya Yogyakarta, Minggu 25 September 2011 lalu. Untung, karena kekalahan itu penting bagi umumnya masyarakat Yogyakarta yang peduli dan sekaligus khawatir pada nasib RUUK-DIY. Pemilihan Walikota Yogya, menjadi test the water bagi siapapun yang pro dan anti penetapan, dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Itulah pula maka perlu dukung-mendukung di tingkat atas, seperti dukungan sebagian besar kerabat kraton Yogyakarta dan Pakualaman pada Hati (Haryadi Suyuti dan Imam Priyono), dan di sisi lain dukungan Herry Zudianto (Walikota Yogya, 2006-2011), Muhammadiyah, PD dan tentunya PAN, pada Fitri. Hal itu menunjukkan pertarungan yang sesungguhnya, meski analisis para akademis segaris Amin Rais, akan menafikan hal ini mentah-mentah.
Angka perolehan masing-masing (Zulia sekitar 9%, Fitri 41% dan Hati 50%) menunjukkan sengitnya pertarungan antara Fitri dan Hati. Tentu, menarik memperhatikan, bagaimana Fitri, yang new-comer dan tanpa sejarah politik yang jelas ini (kecuali sebagai anak mantan Ketua MPR), bisa "sekuat" itu?
Masyarakat Yogya merasa, bagaimana mungkin Fitri bisa membiayai kampanye politiknya sedemikian rupa, bahkan dengan nilai cost yang lebih besar dibanding Hati (padahal Haryadi termasuk calon dengan nilai kekayaan pribadi lebih besar dibanding lainnya, apalagi dibanding Hanafi Rais). Dari mana sumber biaya kampanye Fitri, hingga bahkan Hanafi Rais mengatakan tidak akan mengambil gaji selama menjabat (seharusnya omongan seperti ini tidak diperkenankan, karena merupakan janji politik yang sama sekali tidak mendidik dan mendiskreditkan calon lainnya, di samping justeru rawan korupsi karena deal politik dengan para sponsor politiknya)?
Pasangan Hanafi Rais dan Tri Harjun Ismaji (mantan Sekretaris Daerah Provinsi DIY), diusung empat partai besar (Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra, yang terakhir ini semula mengusung pasangan Zulia), plus sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Mataram (Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Demokrasi Pembaruan, dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama).
PD sebagai pemenang Pemilu di Yogya (dalam konteks SBY), tidak mencalonkan jago dari partainya, adalah indikasi ketakutan mereka sebagai common enemy masyarakat Yogya pro penetapan. Mereka, bersama hampir semua parpol, mendukung Fitri. Sementara Hanafi Rais, sebagai anak Amin Rais, tentu berkaitan dengan PAN (di mana mantan Ketua MPR itu implisit tidak menyetujui penetapan), sementara PAN dengan Hatta Radjasa sebagai faktor Jakarta, harus bermain dengan SBY dalam konteks yang sama. Di situlah mengapa PD mendukung Fitri, untuk mengecek bagaimana reaksi sesungguhnya masyarakat Yogya terhadap partai mereka.
Dengan mesin politik dan konstelasi politik semacam itu, angka 40% tentu memadai untuk kerja mesin politik, meski pun biaya politiknya tentu mahal secara rupiah. Walau pun kemudian terbukti, dukungan banyaknya parpol tidak paralel dengan dukungan konstituen, yang memang senyatanya tidak nyata ada.
Namun dalam konteks moralitas politik seperti itulah, Fitri kalah. Dan sebagian besar rakyat tidak bisa dibeli, meski ada juga yang menerima uang sogokannya. Pemilihan yang tak banyak diikuti pemilik hak suara ini (golput dengan berbagai sebab mencapai hampir 40%), menunjukkan ketidakpercayaan pada proses demokrasi yang tetap saja elitis.
Dalam penilaian sejujurnya, pasangan nomor satu, Zulia (Zuhrif Hudaya dan Aulia Reza), yang diusung PKS, sesungguhnya terasa lebih konseptual dan paling jelas dengan programnya. Namun, jaringan pengaruh mereka akan lebih bagus jika setidaknya disiapkan dengan matang dalam lima tahun sebelum pertarungan (apalagi jika disertai dengan litbang yang memadai). Belum lagi soal PKS di belakangnya, yang tetap saja belum bisa diterima dengan konsep ke-"Arab"-annya. Tapi, ini juga test konsolidasi bagi partai itu secara khusus.
Hati, didukung oleh Golkar dan PDI Perjuangan, sekali pun bukan pilihan yang cukup bagus (artinya hanya mediocre, dan bahkan ada yang mengindikasikan ke-"premanisme"-annya), agaknya merupakan pilihan paling menyelamatkan, dan menunjukkan kemenangan masyarakat Yogyakarta (siapapun yang dipilihnya), yang sebagian besar lebih menyetujui penetapan dalam konteks keistimewaan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwana X, tentu saja menolak pendapat bahwa pilwali ini menunjuk antara "kelompok Muhammadiyah" versus "kraton" di sisi lain, karena memang beliau harus mengatakan seperti itu. Namun, sentimen yang faktual di lapangan, tak terhindarkan. Karena tentu juga aneh jika tak ada faksionalisasi dan sentimen itu. Justeru disitulah modal kampanye masing-masing, untuk menunjukkan kapasitas mereka sebagai "jagoan" yang mesti dipilih, bukan karena sebagai seseorang yang ingin dipercaya rakyat, karena kesepakatan atas penawaran logika gagasan program. Money politics, pada akhirnya, adalah bukti bahwa wacana politik mereka tidak "bunyi" atau bahkan tidak ada. Lihat saja jualannya hampir sama,semua pro-penetapan dan akan menjaga keistimewaan Yogyakarta.
Kita tinggal menunggu, bagaimana pembacaan Jakarta (SBY) dalam hal ini, berkait dengan massa jabatan gubernur DIY yang akan berakhir Oktober 2011. Konon SBY akan memperpanjang lagi selama dua-tiga tahun, dan kemudian sesudahnya akan ditetapkan untuk lima tahun ke depan (hingga 2018), untuk kemudian proses pemilihan gubernur dilakukan secara demokratis (beredar kabar Sultan HB X meminta perpanjangan setahun saja, dengan logika untuk mendesak percepatan pembahasan RUUK-DIY).
Kita akan melihat, bagaimana SBY kemudian memutuskan. Bisa jadi, keputusannya akan khas SBY, yakni lebih suka menanam bom waktu, dengan menunda penuntasan masalah, untuk kepentingan eksistensi partainya ke depan.
Partai Demokrat, paska berakhir era SBY pada 2014, tetap akan menjadi kendaraan politik penting SBY, karena ada pertaruhan dan agenda yang tak bisa dilepaskannya. Bukan berkait dengan masa depan dua anaknya saja, melainkan karena berbagai deal politik dan pertaruhan politik yang harus dibayarnya, meski konstelasi politiknya bisa berubah sama sekali. | Sunardian Wirodono, Lereng Merapi, 2011.

July 19, 2010

YOGYAKARTA HARI INI :

| Yogyakarta belum lama lalu dihebohkan dengan aksi pembacokan di daerah Ring Road Utara dan Maguwoharjo, Depok. Pelakunya, sudah ditangkap polisi. Kabarnya, tersangka bernama AG alias CP, warga Kasihan, Bantul, mengalami depresi akibat diputus pacar,... | Menurut seorang trainer dalam acara training guru interaktif "The Art of Teaching" di UNY (18/7), Lukluk Mufida MPdI, guru dituntut menguasai seni mengajar, karena akan berperan besar dalam keberhasilan siswa,... | Wabah demam Berdarah di kota Yogyakarta sudah dinyatakan mengawatirkan, semua kelurahan dinyatakan endemis dengan 814 kasus. Dibanding tahun lalu, angka ini lebih besar,... |
29 Pejabat Pemkot dilantik mengisi kekosongan, di Balaikota kemarin,... | Kalangan guru di wilayah Gunungkidul layak bersyukur, karena mereka akan menerima rapelan Tunjangan Perbaikan Penghasilan selama Januari-Juni yang akan dibayarkan bulan ini,... | Selain kasus DB dan Cikungunya, kini warga pedesaan wilayah Gunungkidul terserang "belek" alias penyakit mata,... | Untuk monitoring kenaikan TDL, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan Gunungkidul, membuka pos pengaduan. Sementara itu, jika kenaikan sembako sampai 25%, perlu dilakukan operasi pasar, kata Drs. Budi Susanto, Kepala Disperindagkoptam) Gunungkidul,... | Program Nasional Pembedayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan di wilayah dusun Ngelorejo, Gari, Wonosari, melakukan pengecoran jalan sepanjang 1.220 meter (18/7) senilai Rp 127.330.000 dengan swadaya masyarakat sebesar Rp 19 juta lebih,... | Pantai Kuwaru, di wilayah Poncosari, Srandakan, Bantul, adalah obyek wisata pantai yang mulai dikenal masyarakat. Jumlah kunjungan semakin meningkat. Sayangnya, jalan menuju ke lokasi wisata itu, sempit dan beberapa mulai rusak berat,... | Kabupaten Bantul hari ini memperingati ulang tahunnya yang ke 179. Lain dari biasanya, upacara ini sepenuhnya akan dipimpin oleh para perempuan dan berbau feminin. Untuk diketahui, akan menggantikan Idham Samawi sebagai bupati yang baru adalah Hj. Sri Suryawidati, yang tak lain adalah isteri Idham Samawi,...
| Pemadaman listrik akan terjadi di sekitar dusun Kweni, hari ini antara pukul 08-15, karena pemeliharaan jaringan tegangan menengah dan perbaikan konduktor, demikian PT PLN APJ Yogyakarta,... | Di Kulonprogo, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan BB-PBPTH Yogyakarta akan mengembangkan tanaman nyamplung dan akasia unggul di Kab. Kulonprogo,... | Sementara itu, 3 anak siswa PA Asidiqiyah Hargowilis, Kokap, terancam tidak bisa meneruskan sekolah, karena sejak di terima hingga kini tidak mampu membayar biaya pendaftaran,... | Di Sleman, Panglima Kodam IV Diponegoro, Brigjen TNI Langgeng Sulistyono menyambut baik rencana Batalyon Infanteri 403 Wirasada Pratista untuk mengadakan "Wisata Batalyon", menurutnya, tentara bukanlah hantu,... | Tahun ini, kunjungan wisatawan ke obyek wisata Kaliurang meningkat dalam liburan sekolah dibandingkan tahun lalu. Dari segi pendapatan, jika tahun lalu pendapatan mencapai Rp 98 juta, tahun ini mencapai Rp 124 juta lebih,... | Sedangkan sebanyak 1.500 peserta ikut Jelajah Wisata 2010 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman dengan tema "Spirit of Boko 2010", merupakan tracking wisata menyusuri hutran dan perbukitan sejauh 12 km di kawasan situs Kraton Boko, Prambanan (18/7),... | Wakilbupati Sleman, Sri Purnomo, yang dalam pemilukada kemarin menang menjadi bupati Sleman, mengatakan menjadi anak salah bukan hanya dalam festival, melainkan harus dinyatakan dalam keseharian, demikian katanya ketika membuka Festival Anak Saleh Indonesia, di Beran (18/7),...
| Banyak potensi wisata di DIY, bagaimana mengembangkannya? Dibutuhkan semangat terpadu dan aksi terpadu, demikian kesimpulan dalam diskusi "Mencari Cara Baru Menjual Yogya" di aula Kedaulatan Raktyyat Senin kemarin,... | Sementara itu, Pemprov DIY menolak anggarkan Pilgub pada tahun 2011, padahal perpanjangan jabatan Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Sri Paku Alam akan berakhir Oktober 2011,... | Yogyakarta Gamelan Festival, semalam berakhir dengan pentas kolaborasi seniman dan penonton di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kemarin minggu (18/7). Festival YGF yang dibidani oleh almarhum Sapto Raharjo ini, merupakan kali ke-15.,... | Yogyakarta, yang memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam, menarik minat para investor asing. Di kota ini setidaknya terdapat 120 perusahaan berstatus joint venture,... | Perguruan Tinggi Taman Siswa bertekad menggalakkan kurikulum berbasis budaya, hal itu dikarenakan terjadinya kemunduran bangsa karena arus globalisasi namun tidak diiringi dengan kesiapan SDM,... | Untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia, tidak harus menjadi universitas riset, kata Ditjen Dikti Prof. Dr. Ir Suryo Hapsoro, demikian dikatakan dalam sebuah seminar di UGM kemarin,...
| Ukuran Kualitas Pendidikan, bukan hanya UAN, itu dibuktikan dengan tidak paralelnya antara kualitas nasional UAN di DIY dengan tingkat penerimaan dalam SNMPTN yang tertinggi secara nasional,... | Dr. Ali Awaluddin, dosen muda Jurusan Teknik Sipil FT, meraih prestasi gemilang dengan meraih award Japan Wood Research Society. Ia mengembangkan penelitian mengenai pengaruh gesekan atau friksi pada sambungan kayu dengan alat sambung baut,... | Tim voli putra Baja 78 Bantul, secara mengejutkan mengandaskan Ganevo Kota Yogya 3-2 (27-25, 25-20, 22-25, 23-25, dan 15-13) dalam babak semifinal kejurprov bolavoli junior antar-klub PBVSI se DIY 2010,... | Berita yang agak menyedihkan, 86 desa di DIY rawan pangan, sekali pun jumlah ini relatif lebih kecil dibanding tahun lalu yang mencapai 137 desa,... | Tower telepon seluler yang berdiri sendiri di Yogyakarta, diperkirakan mencapai 120 unit, hingga saat ini Kota Yogya tidak memiliki Base Traceiver Station bersama, padahal, 2011 adalah batas terakhir harus memiliki BTS bersama,... |