AGENDA ACARA SEPEKAN YOGYAKARTA 15 SEPT - 5 OKTO 2011

SEPTEMBER-OKTOBER 2011 | [PAMERAN] |Komputer: Yogyakomtek, Jogja Expo Center, 1-5 Oktober |Foto: Karya Regina Safri, Bentara Budaya, 27-28 September. |Senirupa: The Treasure of Spiritual Art - Post Hybridity, Sangkring Art Space, 19-30 September. |Pentas Rupa Baca & Rasa, Wayan Beratha Yasa, 24 Sep-8 Okt, Tembi Rumah Budaya, Bantul. |Love Is All You Need, 14 Sep-4 Okt, Via-via Cafe and Alternative Art Space. |Patung: "Sekarat", 21-30 September, Taman Budaya Yogyakarta. |Jogja Edu Expo 2011, pameran pendidikan dan gelar seni pelajar dan insan pendidikan se Yogyakarta. 30 Sep-2 Okt, jam 09.00-16.00. Taman Pintar Yogyakarta. |Pameran Produk Herbal, Fakultas Farmasi UGM, 30 Sep-1 Okt, 08.00-17.00, di Grha Sabha Pramana, UGM, Bulaksumur. [PELATIHAN] |Pengarusutamaan Gender, YAKKUM Emergency Unit (YEU) Yogyakarta, 28-30 September jam 09.00-17.00, di Disaster Oasis Trainning Center, Jl. Kaliurang Km 21,5 Hargobinangun, Pakem, Sleman. |Maximum Climbers Gathering 2011, 30 Sep-2 Okt, Pantai Siung, Gunung Kidul, CP: 0274-7428076, 081215475337. [FESTIVAL] |Music, Festival Band dalam rangka Hari Pangan Se Dunia XXXI, 30 September, Benteng Vredenburgh. |KOREAN DAY 2011, Korean Singing Comp., 19 Sp-17 Okt, hub: info@koreanday-ugm lockerz.com/s/142635476 [LOMBA] |Lomba Fotografi-Cepen-Essay dlm rangka Psikologi Fest Jurnalistik UGM, Info: 085661634135. |Lomba MHQ, MSQ, MTQ, Kaligrafi, Adzan, CCA tingkat SMP, 9 Oktober, pendaftaran s.d 5 Oktober di SMAN 5 Yogya. CP 081802617467. [FILM] |Pemutaran Film "White Terror", Salvador Allende, G30s/PKI, Lumumba, 29 Sep-1 Okt, di Perpustakaan Literati. [UJIAN SIM] Massal, Sim A & C bagi warga Sleman, di Purwomartani, Sleman. Daftar 12 Sep-1 Okt, ujian 4 Oktober. [TALKSHOW] Bisnis, "Strategi Jitu Menjadi Industriawan Bisnis", 30 Sep, 16.00, Hotel Sahid, Jl. Babarsari Yogyakarta. [MEDIS] Program Peduli Kesehatan dari Laboratorium Klinik Parahita Yogyakarta, 1-8 Oktober. PK Parahita, Dr Soetomo, Yogyakarta.

July 19, 2010

YOGYAKARTA HARI INI :

| Yogyakarta belum lama lalu dihebohkan dengan aksi pembacokan di daerah Ring Road Utara dan Maguwoharjo, Depok. Pelakunya, sudah ditangkap polisi. Kabarnya, tersangka bernama AG alias CP, warga Kasihan, Bantul, mengalami depresi akibat diputus pacar,... | Menurut seorang trainer dalam acara training guru interaktif "The Art of Teaching" di UNY (18/7), Lukluk Mufida MPdI, guru dituntut menguasai seni mengajar, karena akan berperan besar dalam keberhasilan siswa,... | Wabah demam Berdarah di kota Yogyakarta sudah dinyatakan mengawatirkan, semua kelurahan dinyatakan endemis dengan 814 kasus. Dibanding tahun lalu, angka ini lebih besar,... |
29 Pejabat Pemkot dilantik mengisi kekosongan, di Balaikota kemarin,... | Kalangan guru di wilayah Gunungkidul layak bersyukur, karena mereka akan menerima rapelan Tunjangan Perbaikan Penghasilan selama Januari-Juni yang akan dibayarkan bulan ini,... | Selain kasus DB dan Cikungunya, kini warga pedesaan wilayah Gunungkidul terserang "belek" alias penyakit mata,... | Untuk monitoring kenaikan TDL, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pertambangan Gunungkidul, membuka pos pengaduan. Sementara itu, jika kenaikan sembako sampai 25%, perlu dilakukan operasi pasar, kata Drs. Budi Susanto, Kepala Disperindagkoptam) Gunungkidul,... | Program Nasional Pembedayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan di wilayah dusun Ngelorejo, Gari, Wonosari, melakukan pengecoran jalan sepanjang 1.220 meter (18/7) senilai Rp 127.330.000 dengan swadaya masyarakat sebesar Rp 19 juta lebih,... | Pantai Kuwaru, di wilayah Poncosari, Srandakan, Bantul, adalah obyek wisata pantai yang mulai dikenal masyarakat. Jumlah kunjungan semakin meningkat. Sayangnya, jalan menuju ke lokasi wisata itu, sempit dan beberapa mulai rusak berat,... | Kabupaten Bantul hari ini memperingati ulang tahunnya yang ke 179. Lain dari biasanya, upacara ini sepenuhnya akan dipimpin oleh para perempuan dan berbau feminin. Untuk diketahui, akan menggantikan Idham Samawi sebagai bupati yang baru adalah Hj. Sri Suryawidati, yang tak lain adalah isteri Idham Samawi,...
| Pemadaman listrik akan terjadi di sekitar dusun Kweni, hari ini antara pukul 08-15, karena pemeliharaan jaringan tegangan menengah dan perbaikan konduktor, demikian PT PLN APJ Yogyakarta,... | Di Kulonprogo, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan BB-PBPTH Yogyakarta akan mengembangkan tanaman nyamplung dan akasia unggul di Kab. Kulonprogo,... | Sementara itu, 3 anak siswa PA Asidiqiyah Hargowilis, Kokap, terancam tidak bisa meneruskan sekolah, karena sejak di terima hingga kini tidak mampu membayar biaya pendaftaran,... | Di Sleman, Panglima Kodam IV Diponegoro, Brigjen TNI Langgeng Sulistyono menyambut baik rencana Batalyon Infanteri 403 Wirasada Pratista untuk mengadakan "Wisata Batalyon", menurutnya, tentara bukanlah hantu,... | Tahun ini, kunjungan wisatawan ke obyek wisata Kaliurang meningkat dalam liburan sekolah dibandingkan tahun lalu. Dari segi pendapatan, jika tahun lalu pendapatan mencapai Rp 98 juta, tahun ini mencapai Rp 124 juta lebih,... | Sedangkan sebanyak 1.500 peserta ikut Jelajah Wisata 2010 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman dengan tema "Spirit of Boko 2010", merupakan tracking wisata menyusuri hutran dan perbukitan sejauh 12 km di kawasan situs Kraton Boko, Prambanan (18/7),... | Wakilbupati Sleman, Sri Purnomo, yang dalam pemilukada kemarin menang menjadi bupati Sleman, mengatakan menjadi anak salah bukan hanya dalam festival, melainkan harus dinyatakan dalam keseharian, demikian katanya ketika membuka Festival Anak Saleh Indonesia, di Beran (18/7),...
| Banyak potensi wisata di DIY, bagaimana mengembangkannya? Dibutuhkan semangat terpadu dan aksi terpadu, demikian kesimpulan dalam diskusi "Mencari Cara Baru Menjual Yogya" di aula Kedaulatan Raktyyat Senin kemarin,... | Sementara itu, Pemprov DIY menolak anggarkan Pilgub pada tahun 2011, padahal perpanjangan jabatan Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Sri Paku Alam akan berakhir Oktober 2011,... | Yogyakarta Gamelan Festival, semalam berakhir dengan pentas kolaborasi seniman dan penonton di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kemarin minggu (18/7). Festival YGF yang dibidani oleh almarhum Sapto Raharjo ini, merupakan kali ke-15.,... | Yogyakarta, yang memiliki warisan budaya yang kaya dan beragam, menarik minat para investor asing. Di kota ini setidaknya terdapat 120 perusahaan berstatus joint venture,... | Perguruan Tinggi Taman Siswa bertekad menggalakkan kurikulum berbasis budaya, hal itu dikarenakan terjadinya kemunduran bangsa karena arus globalisasi namun tidak diiringi dengan kesiapan SDM,... | Untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia, tidak harus menjadi universitas riset, kata Ditjen Dikti Prof. Dr. Ir Suryo Hapsoro, demikian dikatakan dalam sebuah seminar di UGM kemarin,...
| Ukuran Kualitas Pendidikan, bukan hanya UAN, itu dibuktikan dengan tidak paralelnya antara kualitas nasional UAN di DIY dengan tingkat penerimaan dalam SNMPTN yang tertinggi secara nasional,... | Dr. Ali Awaluddin, dosen muda Jurusan Teknik Sipil FT, meraih prestasi gemilang dengan meraih award Japan Wood Research Society. Ia mengembangkan penelitian mengenai pengaruh gesekan atau friksi pada sambungan kayu dengan alat sambung baut,... | Tim voli putra Baja 78 Bantul, secara mengejutkan mengandaskan Ganevo Kota Yogya 3-2 (27-25, 25-20, 22-25, 23-25, dan 15-13) dalam babak semifinal kejurprov bolavoli junior antar-klub PBVSI se DIY 2010,... | Berita yang agak menyedihkan, 86 desa di DIY rawan pangan, sekali pun jumlah ini relatif lebih kecil dibanding tahun lalu yang mencapai 137 desa,... | Tower telepon seluler yang berdiri sendiri di Yogyakarta, diperkirakan mencapai 120 unit, hingga saat ini Kota Yogya tidak memiliki Base Traceiver Station bersama, padahal, 2011 adalah batas terakhir harus memiliki BTS bersama,... |

Seni Mural: Memanfaatkan Ruang Publik untuk Kreativitas

Oleh Defri Werdiono | Teks dalam bahasa Jawa berbunyi Ndongo Sinau lan Usaha atau Berdoa Belajar dan Berusaha melengkapi goresan cat yang membentuk visual tiga sosok perempuan tua di sebuah sudut pasar. Kata-kata itu seolah menyatu dengan aktivitas yang tengah mereka kerjakan, yaitu membuat adonan (bekerja), mengangkat tangan dan menengadah ke langit (berdoa), serta membuka lembaran buku (belajar).
Meski baru rampung 70 persen, isi pesan mural yang tegah dibuat beberapa orang tersebut sudah bisa diraba. Rupanya sang seniman ingin memberikan pesan moral kepada siapa saja yang lewat dan membacanya bahwa hidup sehari-hari dirasakan lebih sempurna apabila seorang individu melaksanakan ketiga kegiatan di atas.
Demikianlah salah satu mural di Jalan Remujung di sebelah timur Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Minggu (3/12) malam, puluhan seniman mural dari Yogyakarta dan sekitar serius bekerja di bawah temaram lampu pijar. Mereka menuangkan ide-ide kreatif di lokasi yang pada siang harinya penuh oleh aktivitas ekonomi.
Bersama Pemerintah Kota Yogyakarta, para seniman ini mengerjakan sebuah gawe besar bertajuk "Midnight Live Mural Project 2006" yang dikerjakan selama tiga malam berturut-turut. Ada empat lorong lainnya, masih satu komplek, yang dimanfaatkan oleh para seniman mural dan grafiti. Lorong tersebut di antaranya Jalan Sandiloto, Mojar, dan Limaran.
Mereka tidak hanya memanfaatkan tembok-tembok yang ada, juga media lain, seperti rolling door pertokoan sampai aspal jalanan. Tema disesuaikan dengan potensi daerah sekitar seperti tempat perdagangan hingga tempat gaul anak jalanan.
"Kami ingin menghidupkan lorong-lorong ini. Tempat ini sebenarnya menarik, namun sayang di atas pukul 21.00 menjadi mati. Padahal, siang hari penuh dengan aktivitas warga," ujar Samuel Indratma, Pengurus Jogja Mural Forum, Minggu.

Eksperimen
Setelah adanya mural-mural ini, lanjut Samuel, diharapkan lorong itu bisa berfungsi maksimal, salah satunya untuk kegiatan-kegiatan yang berbau seni seperti pertunjukan musik atau aktivitas lain. Tentu, semua itu dilakukan pada waktu malam. Apalagi, lokasinya berdekatan dengan Taman Budaya Yogyakarta.
Dalam skala yang lebih luas, oleh para seniman yang sebagian besar berusia muda, melukis di lorong ini menjadi tempat untuk meningkatkan potensi diri. Mereka menilai kegiatan ini menjadi sebuah eksperimen untuk mengolah ide-ide.
Semakin banyak melukis semakin bertambah pula pengalaman. Apalagi, perkembangan komunitas mural di Yogyakarta saat ini cukup pesat, baik itu yang membentuk kelompok kecil-kecilan maupuan yang masih berdiri sendiri.
"Saat ini ruang fisik dan ruang imajiner untuk seniman muda tidak ada. Misalnya, galeri yang mengkhususkan diri untuk remaja tidak ada. Demikian pula ruang imajiner yang mendukung keluarnya gagasan- gagasan bagi para seniman mural dan grafiti tidak ada. Oleh karena itulah, tempat dan kesempatan seperti ini sangat bermanfaat bagi mereka," ujar Samuel.
Seniman mural sampai kini memang senantiasa berada dalam ketegangan antara dirangkul atau dicap sebagai kaum pengotor dinding kota. Di situlah justru para seniman jalanan ini bisa lebih hidup....

KOMPAS, Yogyakarta,Selasa, 05 Desember 2006 [Artikel ini diambil dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/05/jogja/1031447.htm]

Hamengku Buwono X: Raja atau Ratu?

Gusti Kanjeng Ratu Pambayun (Antara/Noveradika)Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menerima kehadiran tiga mahasiswa administrasi negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Jamuan berlangsung di Gedhong Wilis, Kepatihan, kantor Sultan di kompleks perkantoran Provinsi DIY, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu awal bulan lalu.
Satu di antara mahasiswa itu adalah Yusuf Akhmad. Dia punya kepentingan ilmiah, mewawancarai Sultan sebagai narasumber bagi skripsinya yang berjudul "Peran Sri Sultan HB X dalam Pengarusutamaan Gender". Wawancara itu berlangsung sekitar satu jam dalam suasana akrab, ditemani cemilan bolu, timus, dan kacang goreng serta teh hangat.
Sultan, sambil mengisap rokok, menjawab pertanyaan dengan lancar dan tegas. "Setiap sultan berhak melakukan perubahan," begitu jawaban diplomatisnya atas pertanyaan penting seputar tradisi keraton. Lantas Sultan menyebutkan beberapa contoh perubahan dalam keraton. Mulai soal tari dan upacara, penataan organisasi, hingga penempatan kerabat perempuan dalam institusi keraton.
Namun, ia menambahkan, perubahan tradisi itu tidak bisa meninggalkan fondasi filosofi keraton, terutama berkaitan dengan aspek spiritualitas. "Pejabat keraton tidak hanya laki-laki. Anak-anak saya (yang semuanya perempuan --Red.) juga menjabat di keraton. Saya juga bisa ngepel, apalagi cuma beres-beres tempat tidur," ujar Sri Sultan HB X sembari tersenyum.
Intinya, isu patriarki dalam Keraton Yogyakarta, menurut Sultan, adalah masa lalu. Jauh ketika wacana kesetaraan gender belum muncul. Jadi, tidak masalah perempuan jadi raja di Keraton Yogyakarta? Yusuf akhirnya melontarkan juga pertanyaan itu.
"Ya, tidak ada masalah. Tapi itu tergantung masyarakat mau mengubah tradisi atau tidak. Masyarakat sendiri dong yang harus menilai. Jangan saya," papar Sultan, sebagaimana diceritakan kembali oleh Yusuf kepada Gatra.
Sultan mewanti-wanti bahwa "terobosan administrasi" keraton semacam itu sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Juga keterbukaan pihak keraton dalam menyikapi isu suksesi. "Saudara saya laki-laki ada. Anak saya perempuan ada. Terserah masyarakat," katanya, lugas.
Sepekan setelah wawancara itu, tepatnya Rabu 12 Mei, materi pembicaraan Sultan dengan tiga mahasiswa Fisipol UGM itu dipublikasikan dalam website Pemerintah Provinsi DIY dengan tajuk "Gender dalam Pandangan Sultan". Seperti bensin menyambar api, materi itu jadi berita hangat. Sejumlah koran lokal menjadikannya sebagai headline dengan memuat juga pendapat beberapa pejabat keraton.
Di kalangan jurnalis kepatihan dan keraton, sebetulnya wacana itu sudah beredar sebelum publikasi via website tadi. Namun mereka tak berani "menurunkannya" sebagai berita. "Soalnya sensitif," kata seorang jurnalis harian di Yogyakarta.
Istri Sultan, GKR Hemas, mengemukakan bahwa pernyataan Sultan soal suksesi raja perempuan itu merupakan bentuk keikutsertaan keraton pada perkembangan di masyarakat. Menurut Hemas, untuk mengetahui respons masyarakat, tidak harus melalui polling, referendum, atau pisowanan. Karena keputusan akhir tetap ada pada Sultan. "Beliau sendiri (yang memutuskan), bukan siapa-siapa," katanya.
Hemas juga menyebutkan bahwa wacana itu sudah dibahas secara internal di keluarga keraton. Respons kerabat pun baik. "Nggak masalah. Saya kira sudah (dibahas). Bukan hanya dengan adik-adik Sultan (yang laki-laki), tapi kerabat yang lain. Kerabat kan tidak hanya adik-adiknya," paparnya.

Sebagai catatan, Sri Sultan HB X dan permaisurinya, GKR Hemas, tidak memiliki anak laki-laki. Lima anak perempuan. Mereka adalah GRA Nurmalita Sari (putri sulung, bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun), GRA Nurmagupita, GRA Nurkamnari Dewi, GRA Nurabra Juwita, dan GRA Nurastuti Vijareni.
Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menolak mengomentari pusaran wacana yang mengarah kepada dirinya sebagai putri tertua Sri Sultan HB X itu. "Saya ngurusi pasar tradisional saja, ha, ha, ha...," kata Pembayun, yang kini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DIY, sambil tersenyum lepas.
Salah satu adik Sultan, GPBH Yudhaningrat, meyakini pernyataan Sultan itu sebagai ucapan pribadi. "Sultan telanjur omong," katanya dengan nada pasrah, menyesalkan. "Jangankan pembahasan (di keluarga keraton), pemikiran (seperti itu) pun tidak ada sebelumnya. Secara pribadi tidak apa-apa. Tapi, dalam kapasitas sebagai sultan, pernyataan itu kurang pantas."
Yudhaningrat menyatakan bahwa Keraton Yogyakarta termasuk dinasti kekhalifahan yang memosisikan sultan sebagai penerus Nabi dalam pemahaman agama Islam. Sri Sultan HB X sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping X (yang kurang lebih berarti: pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, tuan semua orang yang percaya).
"Jelas, selama ini tidak ada Sultan Yogyakarta yang perempuan," kata Yudhaningrat. Ia mengaku tak keberatan kalau seorang putri menjadi ketua adat atau ketua budaya seperti terjadi di Mangkunegaran. Tapi, "Bukan sebagai kanjeng gusti," ujar Yudhaningrat, yang meyakini bahwa Keraton Yogyakarta menganut paham patriarki.
Berbeda dari raja perempuan Aceh, yang menurut dia bagian dari kerajaan Sumatera yang mengikuti garis perempuan (mamak) dalam paham matriarki. Ia juga mewanti-wanti bahwa selama ini sudah ada pedoman yang jelas, yakni paugeran (peraturan perundangan) keraton, yang menunjukkan tak ada sultan perempuan. "Kalau mau rusak-rusakan, silakan saja dicoba," katanya.
Menurut Yudhaningrat, jika prameswari tidak punya putra, maka dalam suksesi, yang berhak menjadi raja adalah "adiknya yang kakung". Dalam hal ini, ia menyebut nama Hadiwinoto sebagai kakak lelaki tertua. "Terserah dia siap dicalonkan atau tidak. Kalau tidak bersedia, giliran selanjutnya Hadisurya," tuturnya.
Yudhaningrat sendiri menampik bahwa ketidaksetujuannya atas wacana sultan perempuan itu sebagai bentuk keinginannya jadi raja. "Wah, urutan saya jauh," ujarnya, sembari menyebutkan bahwa dirinya berada di urutan 15-17 dari 22 putra Sultan HB IX.
Untuk diketahui, Sri Sultan HB X adalah putra dari garwa pawean atau istri kedua. Sebab Sultan HB IX tidak memiliki putra dari garwa padmi atau istri pertama. Dan tentang adik yang menggantikan kakaknya pernah terjadi ketika HB VI naik tahta pada 5 Juli 1855 menggantikan kakaknya, HB V.
Ahli hukum keraton, guru besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Sudikno, menyatakan bahwa dalam sejarah Keraton Yogyakarta belum ada sultan yang perempuan, sebab tidak tercantum dalam paugeran. Namun, menurut dia, paugeran bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ditentukan secara internal keraton.
"Mungkin saja sultan perempuan, boleh saja, asal berada dalam lembaga yang telah ditentukan sebagai hasil musyawarah keraton," kata profesor senior yang sering dilibatkan dalam soal tata aturan keraton itu.
Sementara itu, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bambang Purwoko, menilai masalah suksesi itu sebagai kewenangan Sultan dan pihak keraton. "Tidak ada urgensi membawa wacana ini ke masyarakat," kata pria yang rajin membantah jika dirinya disebut-sebut sebagai penasihat bahkan, kabarnya, penulis pidato Sri Sultan HB X itu.
Wacana suksesi sultan perempuan itu pun, menurut Bambang, tidak perlu dikaitkan dengan isu kesetaraan gender. Ia mengilustrasikan, ketika Elizabeth I bertahta di Inggris pada abad XVI, posisi perempuan dalam masyarakat Inggris ketika itu juga sangat tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Juga ketika Ratu Shima yang bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara bertahta di Kerajaan Kalingga pada abad VII, rakyat Jawa tentu masih sangat buta atas gagasan kesetaraan gender. "Toh, bisa saja seorang perempuan menjadi raja," ujarnya.
Karenanya, kata Bambang, jika semua pihak di Keraton Yogyakarta menganggap paugeran yang masih berlaku pada saat ini layak dipertahankan, sudah jelas siapa yang akan menjadi raja berikutnya. Tidak perlu repot-repot menggagas jenis kelamin raja berikutnya. Namun, kalau keraton menghendaki tampilnya raja perempuan, yang harus dilakukan hanyalah mengubah paugeran yang ada.
"Undang-undang dasar negara saja bisa diamandemen, tentulah paugeran juga bisa dengan mudah diubah. Hanya kitab suci agama yang seharusnya tidak boleh diubah-ubah," kata Bambang lagi.
Meski begitu, Bambang mengaku tidak bisa memungkiri bahwa pernyataan Sultan tentang raja perempuan itu mencerminkan keinginannya digantikan putrinya. "Bisa dibaca masyarakat seperti itu. Sikap (pernyataan Sultan) itu sebagai fungsi kepentingan," katanya.

Bambang Sulistiyo, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta) [Nasional, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 17 Juni 2010]

Keistimewaan Yogyakarta Harus Dipertahankan


YOGYAKARTA,SENIN- Pemerintah pusat harus menjamin status keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan. Jaminan itu penting sejalan dengan kian dekatnya masa jabatan periode kedua Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY, yang dijabat Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX, yang berakhir pada 9 Oktober 2008.
Pemerintah pusat juga menjanjikan perpanjangan masa jabatan gubernur dan wagub sampai undang-undang (UU) yang mengatur keistimewaan DIY secara detail selesai. Minggu (28/9), anggota DPRD DIY, Heru Wahyukismoyo, menyebutkan, pemilihan kepala daerah secara langsung sebenarnya tak sejalan dengan Sila IV Pancasila, yakni musyawarah dan mufakat sebagai amanat demokrasi Pancasila. Jadi, jika gubernur-wakil gubernur DIY tak dipilih secara langsung, bukan pelanggaran atas konstitusi. ”Turbulensi politik ini akibat reformasi konstitusi yang tidak konsisten dengan akar kebangsaan,” katanya.
Guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Joko Suryo, menuturkan, salah satu sisi yang harus menjadi pertimbangan penting dalam pembahasan keistimewaan DIY adalah konteks sejarah yang melatarbelakanginya. ”Hanya dengan menilik sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta dan penggabungannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita akan bisa mendapat gambaran lengkap tentang makna keistimewaan DIY itu,” ujarnya.
Dari segi kesejarahan, Joko mengatakan, Kesultanan Yogyakarta ada lebih dahulu dibandingkan NKRI. Pada masa kolonial, sultan diakui otoritasnya sebagai penguasa wilayah Yogyakarta. ”Ini berbeda dengan kekuasaan monarki lainnya di Nusantara yang setelah ditaklukkan langsung dihapuskan Belanda,” katanya.
Hal itu, kata Joko, tak terlepas dari ikatan kuat antara sultan sebagai pengayom dan rakyat sebagai kawulanya. ”Berdasarkan pertimbangan penasihat pemerintahan kolonial saat itu, penghapusan kesultanan justru akan berpotensi besar menimbulkan gejolak di masyarakat,” katanya. Hal serupa juga berlanjut pada masa penjajahan Jepang ketika Kesultanan Yogyakarta berstatus daerah istimewa yang memiliki pemerintahan otonom.
Selo Soemardjan dalam bukunya, Perubahan Sosial di Yogyakarta, pun menjelaskan, ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah negara ini tahun 1942, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX meminta agar diperbolehkan memerintah rakyat Yogyakarta secara langsung, tidak melalui pepatih dalem. Jepang meluluskan permintaan itu, bahkan melantik untuk kedua kalinya Raja Keraton Yogyakarta HB IX agar kokoh kedudukannya. Jepang memberi istilah Koti atau Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diperintah HB IX.
Ikatan kuat antara raja dan rakyat itu, kata Joko, terus berlangsung hingga zaman modern. Salah satu yang menonjol adalah pada masa kepemimpinan HB IX, yang dinilai sebagai pemimpin yang benar-benar menunjukkan karakter kerakyatannya.
Mengenai konteks keistimewaan pada masa kemerdekaan, Joko melihat hal itu jelas tercantum dalam Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya.
Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan, yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.
Dari tinjauan ini, Joko menilai, secara historis, sosiologis, dan politis, pemerintahan di bawah kepemimpinan sultan adalah sistem yang paling tepat bagi Yogyakarta. ”Pemerintahan sultan menciptakan stabilitas bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau sistem itu diganti, justru bisa menyebabkan instabilitas,” katanya.
Ketua Senat Akademik UGM Sutaryo mengatakan, tak bisa dimungkiri, ruh keistimewaan DIY adalah kepemimpinan sultan sebagai kepala daerah. ”Tanpa itu, keistimewaan tidak ada maknanya,” katanya. Ketua DPRD DIY Djuwarto berharap pemerintah pusat segera mengesahkan perpanjangan jabatan gubernur sebelum masa jabatan Sultan HB X habis. ”Hal ini untuk menghindari vakum kekuasaan di DIY,” katanya.
Mengenai Rancangan Undang- Undang Keistimewaan DIY, Djuwarto mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir karena Komisi II DPR berjanji akan membuka ruang sebesar-besarnya bagi aspirasi masyarakat Yogyakarta. (sig/eng/tra) | Kompas, Senin 29 September 2008

Di Yogya, Lidah Wajib Bertamasya

BUTET KARTAREDJASA | Yogyakarta bukan hanya ”istimewa” daerahnya, tetapi juga istimewa dalam perkara memburu makanan enak. Bayangkan.
Untuk menyantap semangkuk soto Bu Cip di Tamansari atau menikmati legitnya nasi goreng kambing olahan Mbak Sopiah di Warung Sate ”Pak Dakir” di Jalan HOS Cokroaminoto, kita harus menyiapkan stamina istimewa untuk antre tunggu giliran. Dan, menikmati istimewanya kegerahan di warung sempit. Bahkan, jika menyantap tongseng kambingnya Pak No di Desa Menayu Kulon, Ring Road Selatan, orang akan merasakan istimewanya sengatan cabe superpedas. ”Habis lari maraton ya,” ledek Pak No setiap konsumennya bercucuran keringat dan terengah-engah kepedasan.
Itulah Yogya. Melengkapi statusnya sebagai kota budaya, ia menyimpan begitu banyak keunikan, teristimewa yang berurusan dengan kemanjaan lidah. Dikategorikan unik karena olahan makanan (tradisional) itu jarang ditemui di menu kelas restoran. Misalnya baceman kepala kambing di belakang Pasar Colombo, Jalan Kaliurang; baceman bebek di Pasar Ngino, Godean; atau baceman burung puyuh dan burung dara di depan gerbang Ndalem Notoprajan. Atau, yang dikategorikan lauk-pauk unik, seperti gorengan cethul goreng di Tamansari, rantengan (baceman empal, babat, iso, rambak, petis) Bu Warno di lantai dua Pasar Beringharjo bagian timur, berdekatan dengan gado-gado legendaris Bu Hadi.
Masih banyak warung legendaris yang bertahan hingga kini, bahkan dikelola generasi kedua atau ketiga. Yang pernah kuliah di UGM Bulaksumur dipastikan pernah menikmati pecel, sop, dan es sari tomat di SGPC Bu Wiryo. Biasanya, mereka ingin mengenang kembali SGPC yang dulu kondang dengan kejenakaan pelayannya, yang selalu mengistilahkan menu makanan dengan ungkapan yang lucu: sop tanpa kawat (maksudnya tanpa mihun), pecel banjir (dengan bumbu kacang yang banyak), atau sop tanpa colt kampus (maksudnya tanpa kol, kubis).
Sementara yang menggemari makanan berkuah akan berjodoh dengan Soto Kadipiro di jalan Wates, yang saking melegendanya di sekitar situ banyak muncul kedai soto dengan brand ”Kadipiro”. Namun, ada genre soto lain. Beda bumbu dan dagingnya. Jika soto Kadipiro—juga Soto Sawah di Desa Soragan dan Soto Pak Slamet di Mejing, Gamping—disertai suwiran ayam goreng, maka yang ini berbasis daging sapi: Soto Pak Marto, Soto Bu Cip, Soto Sumuk Gondolayu, Soto Pithes Pasar Beringharjo, atau Soto Pak Sholeh di Tegalrejo.
Sementara di ”fraksi” sate dan tongseng kambing, orang tentu tak bisa melupakan Sate Kambing Pak Amat di Alun-alun Utara, Tongseng Wiyoro, Tongseng Ngasem, Tongseng Babadan Sleman, Sate/Tongseng Mbah Godril, Sate Samirono, Lelung alias Gule Balung di Desa Gesikan, Bantul; SGTK alias Satu Gule Tongseng Kambing Pak Anshor di Notoprajan, Sate Klathak Pak Bari dan Jono di dalam Pasar Jejeran, dan tentu saja deretan warung sate dan tongseng kambing di sepanjang jalan menuju Imogiri yang jumlahnya puluhan. Sementara yang mengidap darah tinggi bisa mengalihkan konsumsinya ke sate sapi alias sate kocor Pak Tjipto di Jalan Kemasan dan beberapa kedai sejenis di pinggiran Lapangan Karang, yang juga berada di wilayah Kotagede.
Menguji kesabaran
Warung-warung legendaris semacam ini bisa bernama warung lesehan, kedai, angkringan, depot, atau sekadar dapur. Dapur yang memang benar-benar tempat memasak dan cuci piring. Umumnya, orang tak sabaran menunggu dan langsung menyantap di dapur sebagaimana selalu berlangsung saban malam di Gudeg Pawon Bu Prapto, Janturan, Semaki, Yogya, yang baru start setelah pukul 23.30 WIB.
Nah, bicara soal gudeg, variannya pun beragam. Masing-masing dengan keunikannya tersendiri. Ada gudeg kering ala gudeg Wijilan, Gudeg Juminten dan Gudeg mBarek. Ada gudeg basah dengan santan cair atau setengah kental seperti Gudeg Bu Citro, Gudeg Bu Sri di selatan Pasar Klithikan Kuncen; Gudeg Permata, Gudeg Klentheng, Gudeg Mbak Ginuk di Jetis, atau Gudeg Bu Joyo yang selalu menggelar dagangannya pukul 23.00 di sebelah utara Pasar Beringharjo. Juga ada gudeg manggar yang tidak lagi menggunakan buah nangka muda (gori) di Srandakan, Bantul.
Jika didramatisir, ibaratnya, di setiap jengkal jalanan Yogya orang bisa menemukan sensasi anyar yang barangkali tidak ditemui di kota lain. Terbitnya sensasi itu tak hanya dilihat dari bahan bakunya yang nyleneh seperti misalnya sate kuda (di Gondolayu), sate bulus alias sate kura-kura (di kawasan Jetis). Juga bukan dikarenakan produk-produk makanannya yang unik macam Oseng-Oseng Mercon (di Jalan KHA Dahlan dan Suryowijayan), atau Sega Kucing (di warung-warung angkringan di berbagai pojok kota).
Namun, sensasi itu bisa jadi karena memang penjualnya yang kelewat percaya diri terhadap produk jualannya sehingga kurang peduli pada aspek pelayanan. Itu tercermin dari tempatnya yang terkesan rada jorok, tidak menyediakan toilet yang pantas, penyajiannya sangat sederhana dan pelayanannya pun terkesan semau gue.
Bayangkan saja, sementara kita ngebet ingin menikmati gurihnya mangut lele Yu Kini di Desa Ganjuran, Bantul, kurang lebih 15 kilometer selatan Yogya—yang untuk datang ke situ membutuhkan 35 menit dari pusat kota—sesampai di sana kita belum tentu bisa langsung makan. ”Kalau mau, ya nunggu. Aku durung ngliwet (saya belum menanak nasi),” ujar Yu Kini tanpa merasa bersalah.
Dan, biasanya, pelanggan hanya bisa mengumpat dalam hati meski tetap rela menunggu sampai nasi matang. Malah oleh para pelanggannya, warung Yu Kini terkadang dijadikan indikator kemujuran nasib. Kalau nasib baik, setiba di sana nasi telah tersedia. Kalau belum ada, ya anggaplah untuk berlatih menguji kesabaran.
Kelezatan dari Kerak Wajan
Selain melatih kesabaran, menyantap makanan di Yogya selalu dapat harga murah. Umumnya, penjual makanan khas itu—bakmi jawa, lotek, tongseng, dan sebangsanya—tidak berorientasi pada kuantitas yang menghalalkan penggandaan demi mengejar omzet. Bagi mereka, menyajikan olahan makanan yang terbaik adalah menggarapnya satu per satu. Lotek ya ramuan bumbunya di-uleg (digilas) sesuai order. Bakmi ya digoreng atau direbus dengan satu tungku dan satu wajan yang sama, seperti kita temui di Warung Bakmi Pak Rebo di depan SD Kintelan, Jalan Brigjen Katamso. Kalau toh dari beberapa warung bakmi jawa lainnya—seperti Bakmi Kadin di Jalan Sultan Agung, Mbah Mo di Desa Code, Bantul, Bakmi Pele di Alun Alun Utara, Bakmi Doring di Tamansari, Suryowijayan—mulai menambah tungku dan wajannya, semuanya itu tetap ditangani oleh seorang juru masak.
Hal yang sama juga bakal ditemui di sejumlah warung tongseng. Tongseng kambing ataupun tongseng jamu yang menggunakan bahan baku daging Rin Tin Tin yang bisa menggonggong huk-huk-huk. Ada semacam kepercayaan, mereka pantang mencuci bersih wajan penggorengan. Paling banter hanya dibilas air. Konon kelezatan tongseng dan bakmi, antara lain, karena kerak-kerak bumbu yang bertimbun di permukaan wajan itu.
Soal murahnya harga makanan sering bikin konsumen terjingkat kaget. Jagoan marketing yang berorientasi melipatgandakan keuntungan akan ternganga-nganga mendapati kenyataan betapa mereka menjual jasa boga dengan ambisi sederhana, ”Sekadar saya bisa nunut makan.”
Cobalah datang ke rumah yang sekaligus warung Mangut Lele Mbah Marto di Desa Nggeneng, Sewon, Bantul. Di sana tersedia sambal goreng krecek, lele asap dimasak dengan santan (mangut), opor, dan sejumlah gorengan. Kita bisa makan sepuas-puasnya. Nasi boleh nambah berkali-kali. Namun, jangan kaget, begitu anda membayar, uang sepuluh ribu pun masih ada kembaliannya. Suatu kali, serombongan seniman makan siang di situ. Ada dua belas orang menuntaskan laparnya, eh dibayar Rp 100.000 masih ada kembaliannya Rp 30.000. Gila!!!
Jadi, ajaklah sang lidah bertamasya menguji kecerdasannya di Yogya.

Yogyakarta, Jogja, Jogjakarta, atau Yogya?




Bany
ak orang menyebut Yogyakarta dengan nama berbeda-beda. Orang-orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang-orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogja atau Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Belakangan muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. Sekilas memang membingungkan, namun menunjuk pada daerah yang sama. Lalu, bagaimana bisa kisahnya sampai nama kota ini bisa begitu bervariasi?
Paling tidak, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kraton yang berdiri di Alas Bering itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.
Tak jelas kapan mulai muncul penamaan Yogyakarta, apakah muncul karena pemenggalan dari nama Ngayogyakarta atau sebab lain. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar ko
ta pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogja, Jogja, Jogya dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antar orang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk meski cara pengucapannya berbeda.

Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguat dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih 'Jogja' adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.
Nama Djokja, bukanlah rekayasa, melainkan pernah digunakan pada masa kolonial Belanda. Terbukti, saat itu terdapat sebuah hotel yang bernama Grand Hotel de Djokdja di ujung utara jalan Malioboro. Kini, hotel itu masih
tetap berdiri namun berganti nama menjadi Inna Garuda. Dengan berbagai lafal dan cara penulisannya, bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah yang paling banyak memiliki variasi nama. Jakarta hanya memiliki satu (Jayakarta), sementara Bali tidak memilikinya sama sekali. Kota wisata lain di dunia seperti Bangkok, Singapura, Cartagena, Venesia bahkan tak terdengar memiliki nama-nama variasi. Kota-kota metropolitan seperti New York, Los Angeles, dan London juga tidak mempunyai.
Kini anda tak perlu bingung lagi jika kebetulan ada orang yang menuliskan kota Yogyakartakota ini di internet, nama Yogyakarta merupakan yang paling tepat sebab merupakan nama yang paling umum digunakan dalam bahasa tulisan.
Alternatif lainnya, anda bisa menggunakan nama Jogja, nama kedua yang paling sering digunakan.



Tugu Yogyakarta, Februari 2009, Foto by Charles Amaya.